Friday, July 13, 2018

PSSI-ku Tidak Kubiarkan

Kamis, 12 Juli 2018

Hari ini tidak banyak yang terjadi. Namun satu hal yang ingin kusyukuri, aku mulai menikmati momen menulis setiap hari. Pernah dalam sebuah seminar kepenulisan yang kuhadiri langsung, seorang penulis perempuan, tidak terlalu terkenal, Dewi Lestari namanya, mengatakan untuk memulai sesuatu yang berat, tubuh harus terbiasa dengan beban-beban ringan yang rutin dan konsisten. Untuk dapat membaca Tolstoy atau Albert Camus, barangkali seseorang harus melewati Raditya Dika terlebih dahulu. Untuk menjadi penulis nobel sastra, bisa jadi dimulai dari menulis jurnal setiap hari. Analoginya seperti itu.

Ah, analogi. Kata-kata itu, membuatku terdengar cakap dan berkilau. Ditambah literally, pasti lebih brilian. Jadi analoginya, literally, hi hi hi aku jadi geli sendiri.

***

Aku tidak sabar menunggu malam hari. Tim nasional Indonesia U-19, garuda muda, bertanding. Memasuki babak semifinal dalam piala AFF U-19 bertemu musuh bebuyutan. Saudara serumpun, tetangga berisik, harimau malaya. Kemudian tiba-tiba memori terlempar di akhir tahun 2012. Saat mewakili RRI dalam siaran negara tiga serumpun di Langkawi, Malaysia.

Waktu itu aku satu meja, makan malam dengan delegasi RTM (Radio Televisi Malaysia). Mereka bertanya tentang pemain timnasnya yang harus dikawal dengan barakuda untuk keluar masuk stadion.  Disitu aku benar-benar merasakan atmosfer rivalitas dua negara yang cukup sengit. Ternyata berat juga jadi orang Indonesia di Malaysia. Salam hormatku untuk para buruh migran kita yang telah menjadi representasi bangsa yang sabar di sana.

Pertandingan berakhir dengan skor imbang 1-1. Banyak sekali hal-hal menyedihkan terjadi. Sedih pertama, Egi Maulana sang pemain muda harapan bangsa negara cidera. Sudah jauh ia terbang dari klubnya di Polandia sana. Air matanya bercucuran, persis anak muda yang hendak ditinggal kekasihnya PJJ.

Kesedihan selanjutnya, lampu stadion mati. Sesaat sebelum adu pinalti, mendadak seisi stadion gelap. Kemudian sontak para penonton menyalakan lampu senter dari ponselnya. Kondisi mendadak dilematis. Hati malu tapi suasana berubah romantis. Seperti sedang berada di tengah lagu Fix You dalam konser mahakarya Coldplay. Lights will guide, guide apa? You home.

Kesedihan ketiga, kita kalah. Adu pinalti dengan tiga penendang gagal mencetak gol. Bangsa ini patah hati untuk yang kesekian kali.



***

Seperti biasa, dibalik kesalahan, dibalik kekalahan, idealnya akan dilakukan evaluasi. Kali ini masalahnya dimana? Menurut salah satu dosenku di kampus dulu, ibu Ida, masalah terjadi karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Ekspektasi tinggi adalah asal muasal masalah itu sendiri. Jadi masalahnya bukan karena federasi, bukan karena ketua PSSI. Masalahnya adalah harapan penduduk Indonesia yang terlalu tinggi, yang tidak sesuai dengan realita kinerja federasi, yang tidak sesuai dengan kapasitas ketua PSSI.

Aku punya motif egois dalam menginginkan tim nasional sepak bola menjadi lebih baik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aku ingin ketua PSSI diganti.

No comments:

Post a Comment