Tuesday, November 10, 2015

Krisis Seperempat Abad

Gua benci matematika. Gua menganggap lebih dari separuh masalah di dunia ini muncul karena perhitungan-perhitungan yang nggak pernah punya batas. Kebencian itu dimulai dari sekolah tingkat menengah pertama. Karena bagi gua, sejak itu matematika kehilangan kesederhanaannya. Ia jadi punya banyak syarat, kelebihan aturan, anti kompromi dan terlalu senewen.

Jawabnya Ada di ujung Langit.

Apalagi ada sebuah standar purba orang tua di Indonesia, menganggap kecerdasan anak adalah kecerdasan aritmatika. Bodoh di matematika berarti bodoh semuanya, pukul rata.

Matematika adalah satu-satunya masalah di kehidupan akhil baligh gua.

***

Waktu berjalan, pasti dan perlahan. Muncul paradoks, sebuah karma semesta. Seperti kakak tingkat gua di kampus, Bongkeng namanya, selalu menyebut "Paling enak emang ngejilat ludah sendiri".

Sejenak diri ini rindu pada sebuah masa, dimana segala kepahitan dunia adalah bab trigonometri dalam hal yang paling gua benci, matematika. Rindu pada tiga sekawan bernama Sin Cos Tan yang pada saat itu posisinya lebih antagonis dari pacar yang mengajak break tapi ternyata melarikan diri bersama CPNS dengan iming-iming menikah di gedung pemda.

Ternyata matematika tidak ada apa-apanya.

Dibanding standar orang tua purba yang pada saat gua remaja menuhankan matematika, bergeser menjadi keimanan bahwa sukses adalah orang yang kaya. Belajarlah yang rajin, pandai matematika, kemudian engkau akan jadi orang. Yang tidak kaya ya tidak orang, begitu penjelasannya, barangkali. Tau ah gelap.

Lagi-lagi, manusia memberikan apresiasi manusia lain karna nominal, angka-angka, statistika. Matematika berevolusi menjadi spesies yang lebih rumit dalam bentuk berbeda. Hati ini patah jadi dua.

***

Dewasa ini gua dihantui sebuah ketakutan bernama kesuksesan. Semakin bertambah usia, orang-orang akan semakin nyinyir. Padahal bisa dibilang gua salah satu yang tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat asal-asalan orang banyak, mendekati sikap tidak perduli, anti persepsi sosial.

Apa sih arti sukses? Kalau gua jabarkan tentang sukses yang gua sepakati, yang gua pelajari dari Deepak Chopra dalam bukunya The Seven Spiritual Laws of Success, mengenai sukses adalah sebuah proses perpanjangan dari kebahagiaan dan kemampuan untuk memenuhi impian kita tanpa usaha, besar potensi mereka akan geleng-geleng dengan mulut penuh kalimat istighfar sambil berkata, "Orang itu tolol dulu baru tua. Bukan tua dulu baru tolol".

7 Hukum Sukses Spiritual

Gua bukan tidak ingin punya karir yang bagus, gadget terbaru, tabungan gemuk, liburan Maldives, wine testing di Ritz, "tersesat" di Ibiza, akal sehat anak muda mana yang akan menolak? Kalau gua ditanya semua pertanyaan itu pasti akan gua jawab mau banget dengan meminjam kecepatan ibu-ibu tukang rebut sate padang di kondangan.

Banyak, tidak bisa diasosiasikan dengan dengan keberhasilan hidup seseorang. Banyak, bisa jadi justru indikasi polusi karena kuantitas yang tidak terkontrol. Hidup tidak melulu tentang materi. Karena sukses itu sendiri adalah perjalanan, bukan tujuan. Materi adalah salah satu aspek yang membuat perjalanan jadi lebih menyenangkan. Ingat, salah satu. Karena akan ada aspek lainnya seperti kesehatan, hasrat hidup, relationship yang saling mengisi, kemerdekaan berpikir, stabilitas emosi dan psikologi, perilaku yang baik serta hati yang damai.

Sukses yang gua yakini harus berangkat dari kebahagiaan. Karena gua percaya kebahagiaan yang gua dapatkan akan membawa arahnya sendiri menuju sebuah tempat bernama kesuksesan. Tanpa terlihat nafsu dan bertendensi menjadi ambisius. Usaha edan-edanan bukan untuk menjadi sukses, tapi cukup menjadi manusia yang baik saja.

Baik untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, juga baik untuk alam semesta.

***

Meminjam alat ukur masyarakat umum tempat gua berada, predikat sukses seolah masih jauh untuk gua sandang. Ketika sukses menjadi sebuah "kejar setoran", idealisme yang gua jabarkan seperti tidak ada artinya. Mereka menganggap sukses dulu baru bahagia, padahal bahagialah saja karena itu adalah kesuksesan dalam bentuk yang lebih sederhana.

Mental punya fluktuasi. Dalam titik terendah, terkadang gua merenung memikirkan semuanya. Hati ini menjadi lupa akan bahagia. Gua akhirnya tidak sukses dalam definisi masyarakat, juga dalam definisi yang gua bangun sendiri: tidak kaya tidak bahagia.

Gua merasakan anomali. Entah ini hanya perasaan atau memang sebuah kepastian. Karena gua pernah membaca, manusia akan mengalami quarter life crisis. Sebuah gejala ketidakjelasan psikis tentang ketakutan akan masa depan dalam usia sekitar dua puluh lima. Begitu kurang lebih.

Jangankan bercita-cita menjadi astronot ke bulan, memilih tempat liburan untuk menghilangkan penat dari pekerjaan saja butuh banyak pertimbangan. Di dalam kepala serasa ada perang dunia kedua, semuanya berkecamuk. Lagi-lagi, angka menjadi masalah klasik gua. Kali ini dalam bentuk usia. Balasan gua kepada perempuan, yang selalu merasa dianiyaya oleh usia.

Saat ini gua iri pada comberan. Setidaknya, dia tau kemana alirannya akan menuju.

Nus, Aku Lupa Perahu Kertasnya. Nanti Aja Ya. Bbm Aja.

Wednesday, August 5, 2015

Cerita Panti

Dalam ceritera hidup umat manusia, sebelum kenyataan menampar tega tanpa menyisakan sedikit rasa kasihan, menjadi luntang-lantung, gaji rendah, telat bayaran sekolah anak, prahara biduk rumah tangga, sembunyi dari kejaran agunan bank di kolong meja, penyakit yang nggak bisa diklaim BPJS, lalu  is dead, nasib lebih dahulu memanjakan manusia dalam suatu masa yang luar biasa: kuliah.

Kampus dengan intelejensia yang bercahaya, dosen cerdas berkredibilitas, civitas akademika, perpustakaan yang puitis, pohon rindang apatis, aktivis organisasi yang belum tidur, tugas yang selalu diundur, merupakan perpaduan dengan kadar yang tepat untuk membuat kuliah menjadi sebuah miniatur nirwana di ufuk khatulistiwa. Sekaligus, tempat bunuh diri alamiah yang strategis.

Terlebih, jika kuliah dilewati dengan orang-orang luar biasa yang namanya akan selalu dicatat oleh sejarah.

***
Cerita Batin Santi

Kita memanggilnya Batin, panggilan kepada kakak perempuan dalam adat masyarakat Lampung. Pertemuan dengan dia adalah sebuah misteri kosmis, paduan antara nasib menurun dan kebetulan mendatar, takdir teka-teki silang. Beliau pahlawan dalam cerita ini, ketika memberikan izin menempati rumahnya yang nggak dihuni, kepada mahasiswa-mahasiswa semester akhir perwujudan mutasi dedemit dalam kepercayaan tradisional masyarakat klasik.

Batin adalah dosen di dua universitas sekaligus, Pelita Harapan di Tangerang dan Sai Bumi Ruwa Jurai di Bandar Lampung. Prototipe wanita indepeden modern, sistematis dan fokus dalam menyelesaikan to do list. Mengenyam master dalam bidang ekonomi melalui  sebuah beasiswa di Belanda, diteruskan dengan program doktor di Institut Pertanian Bogor. Buat gua, dia  merupakan Sri Mulyani dalam wujud yang bisa disapa.

Karena jasanya, mulai saat ini Batin Santi akan selalu masuk dalam daftar nama yang harus disebut, depan khalayak, saat kita mengucapkan rasa terima kasih dalam momen penghargaan Gobel Award, nikah masal, atau arisan keluarga.

***

Cerita Aan

Ibunya merupakan sahabat Batin Santi sedari muda, kemudian dianggap saudara, begitu berdasarkan ceritanya. Aan adalah awalan atas alasan sekumpulan mahasiswa komunikasi terancam drop out dan memutuskan untuk tinggal dalam satu atap nasib yang sama: belum lulus kuliah.

Di samping biaya sewa kosan atau kontrak rumah semakin mahal, berbanding lurus dengan derajat rasa malu berkaca umur untuk merengek membabibuta meminta uang kepada orang tua, Aan menawarkan solusi untuk tinggal di rumah Batin bersama. Ada dua alasan, yang pertama meringankan biaya listrik dan air pam, yang kedua karena dia takut setan. Inilah yang disebut dengan fenomena, ada setan takut setan.

Aan Pratama dan Satu-satunya
Aan merupkan anak tunggal semata wayang. Hobinya telfonan dengan ibunya sambil duduk di atas mesin cuci. Laki-laki yang mempunyai masalah dengan kepercayaan diri. Kepedeannya rendah sekali. Sang ibu khawatir, bujang kebanggannya akan sulit menjalin sebuah relationship dengan lawan jenis. Sang ibu putar otak, dibelikannya sepeda motor gentleman yang bisa mendongkrak mental sang anak. Saat Aan menaiki motor kiriman Ibunya, seperti panglima dalam perang Troya, gagah bukan buatan.

Sayang nggak berapa lama motor itu hilang. Dicuri orang waktu main badminton di stadion. Aan kembali menjadi pria pemurung. Menghabiskan waktu menelfon ibunya di tempat favorit, duduk di mesin cuci. Kuliahnya terbengkalai. Skripsinya acak-adul. Sampai sang ibu menawarkan, "Udah, nanti kamu Mama jodohin sama anak teman-teman Mama aja." Aan dalam sebuah senyum yang kecut, coba mengumpulkan harga diri yang tinggal sedikit.

"Tapi Ma, masalahnya mau nggak cewek itu sama Aan?"

***

Cerita Zulian

Zulian adalah antitesis dari Aan. Batas kepercayaan dirinya adalah  khayangan tempat bersemayamnya Dewa Erlang. Nama aslinya Zulian Tanjungan, sebuah nama yang selalu menggetarkan hati siapapun yang ia ajak kenalan.

Sepintas dari penampilan, kesan yang ingin disampaikan adalah kartel narkoba Kolombia, seperti seorang yang tidak pernah makan bangku kuliahan. Namun kesan itu memang benar apa adanya, ia adalah penjahat dalam bentuk yang lebih soft, mafia pendidikan, gensgter akademik: joki tugas.

Don Zul Alcapone

Predikat itu cukup lama Zulian sandang. Sebagai  seorang joki tugas yang adi luhung, ia tidak pernah mengecewakan konsumen. Ratingnya selalu tinggi, high recommended. Namun di samping itu ia memiliki posisi cukup dilematis, mahasiswa yang terlambat sadar kuliah selama dua tahun, dimana dalam periode waktu tersebut ia gunakan untuk bekerja di dinas perhubungan bagian timbangan truk-truk besar lintas Sumatera, membuatnya berkomitmen kampus adalah tempat mencari ilmu, materi, serta jodoh sehidup semati.

Manusia selalu hidup dalam pilihan. Ketiga aspek yang Zulian cari nggak pernah semuanya ia dapat secara bersamaan. Suatu waktu ia memiliki ilmu dan materi, bisnis tugasnya lancar, nilai-nilai kuliahnya bagus namun cerita cintanya horor. Ngajak cewek pacaran tujuh kali, ditolaknya tiga belas. Pernah ia merasakan gelimang harta, pacarpun punya, kuliahnya hampa. Anak SMA klien foto buku tahunannya ia gebet, gadis itu terkesima. Bangga bercampur khawatir, seperti ikut pemilu presiden pertama kali, apa sudah tepat pilihannya kali ini. Tidak genap sebulan, mereka broke up. Entah Zulian yang kuran ajar, atau sang gadis sadar bahwa ia telah menjadi korban penipuan anak di bawah umur.

Jiwa Zulian terguncang. Zulian kalah banyak. Kuliah amburadul, jatuh miskin, terancam membujang dimakan rayap. Sesuai kodrat orang patah hati, energi yang dipancarkan negatif. Rumah 'hibah' ini menjadi suram. Seperti tempat tinggal para pesakitan. Oleh karena itu mulailah rumah yang kita singgahi ini dinamai 'panti rehabilitasi'. Karena macam-macam penyakit hati bersemayam disini.

***

Cerita Agus

Kalian pernah membaca, tentang kisah cowok cuek yang tidak pernah perduli dengan lingkungannya? Dalam cerita itu biasa digambarkan, sang cowok hanya mendengarkan lagu-lagu cutting edge aliran brit pop, dengan lirik cinta yang nggak kalah cuek. Menonton film drama romantis yang seluruh adegannya merupakan kumpulan ketidakperdulian, pemeran utama pria dan pemeran utama wanita sama-sama masa bodo.

Agus To Campus

Agus adalah jelmaan laki-laki tanpa rasa simpatik itu. Film favoritnya adalah 500 Days of Summer, lagu yang selalu ia nyanyikan nggak jauh-jauh, The Smiths dengan judul Please, Please, Please, Let Me Get What I Want. Kepada Zulian yang patah hati Agus nggak tertarik. Kamar kotor dia tidak ambil pusing. Cucian menumpuk dia menolak ikut campur. Tuhan tahu, tapi menunggu. Sebuah skenario serangan balik untuk Agus.

Kecintan akan kecuekan Zooey Deschanel dalam film favoritnya sepanjang masa menyisakan malapetaka. Seperti kumpulam hyena di padang gurun Afrika yang siap menyerang kapan saja, itulah karma. Agus kena getahnya. Jatuh cinta pada seorang perempuan tapi tidak digubris. Seperti mau seperti tidak, seperti ingin tapi tak ingin. Agus adalah bukti konkrit sebuah fenomena mutakhir teraktual yang disebut dengan korban PHP. Agus meninggal.

Entah kenapa hal itu berbanding lurus dengan kehidupan akademisnya. Dosen pembimbing skripsinya memperlakukan Agus tanpa perikemanusiaan apalagi perikeadilan. Janji surga yang tidak kunjung ketemu surganya, surga yang tak dirindukan, sebuah gombalan besok seminar, malamnya sang dosen berubah kehedendak, seminar ditunda, PHP dua kali. Agus reinkarnasi, hidup lagi, kemudian meninggal lagi.


***

Cerita Pakde

Di panti, Pakde adalah salah satu karakter protagonis. Perangainya santun, nggak banyak bertingkah. Waktu ia habiskan dengan mendisain grafis, up date soundcloud, dan back packer. Ia adalah traveller super sejati. Terlahir dengan nama Khairil Anwar, seorang maestro sastra Indonesia, ayahnya ingin ia menjadi binatang jalang yang bisa hidup seribu tahun. Namun ia menolak, cukuplah saja disapa Pakde. Sebuah sapaan rendah hati yang bersahabat.

Pakde Terbakar Api Cemburu

Pakde adalah mantan anak mahasiswa pecinta alam universitas. Ceritanya getir, bagaimana ia berjuang untuk menyelematkan kuliahnya dan memilih pensiun dini dari unit kegiatan yang mengatasnamakan kecintaan pada alam tersebut. Dia pernah dilepas di gunung, dengan modal korek api lima batang, air berwadah alat kontrasepsi, serta kelengkapan survival layaknya Tom Hanks di film Cast Away.

Pernah tujuh hari dia tidak kelihatan, berangkat pamit ke kampus. Tidak disangka besoknya dia sudah berdiri gagah di samping tugu Jogjakarta. Seperti para pengelana yang sudah-sudah, baginya barangkali pendidikan terbaik adalah universitas kehidupan.

***

Cerita Tojo

Namanya Tojo. Pengidap kesurupuan jenis ketiga, kesurupan yang nggak bisa dijelaskan oleh dukun dimana-mana. Kelakuannya selalu ganjil. Alergi terhadap hal bersifat higienis. Obsesif kompulsif dengan AKB 48. Dia akan mengeluarkan sebuah gestur yang nggak bersahabat, kalau ada yang bilang bahwa apa bedanya AKB 48 dengan JKT 48. Tujuan hidupnya tidak ada yang pernah tahu. Sekali waktu pernah ia mengatakan ingin menjadi polisi, besok astronot NASA, besok lusa berubah lagi menjadi aktor film dewasa. Orang seperti dia, paling cocok diadu kepalanya dengan banteng Texas Amerika.

Tojo The Old Fashioned Lover Boy

Tojo pernah bercerita, wajahnya antusias, sebuah aksi protes orang-orang Jepang tentang legalisasi pernikahan dengan operation system. Mereka menuntut diizinkan berumah tangga dengan smart phone atau personal computer-nya. Kekurangan skil sosial memang suatu hal yang mengkhawatirkan. Tojo memiliki kecenderungan, untuk jatuh cinta pada latopnya sendiri. Lalu kemudian menikah, bahagia selamanya.

 ***

Cerita BNI

Panti adalah sebuah saksi perjalanan segerombol mahasiswa mencari jati diri. Tentang fase dalam kehidupan untuk sebuah penemuan akan esensi hidup itu sendiri. Luar biasa sekali jasa panti dalam hidup kami. Panti pernah menjadi saksi tentang sebuah janji kecil yang pernah kita sama-sama buat, bahwa kelak, kami akan melayani negeri untuk kemudian menjadi kebanggan bangsa dalam cara yang tidak terlalu jumawa, seperti motto bank favorit kami, BNI. "Melayani Negeri Kebanggan Bangsa".

Di setiap penghujung semester di gerai-gerainya, kita bersama menunaikan kewajiban membayar kuliah dengan pelayanan yang elegan. Menjaga struk bukti pembayaran sebagai syarat penting diwisuda, menjadi perantara transfer dana saat kita merengguk indahnya sebuah hal ajaib yang bernama beasiswa, BNI menjadi benang merah dalam perjalanan kuliah anak-anak penghuni panti rehabilitasi.

Melalui transfer BNI, Aan dihadiahi sepeda motor pendongkrak harga diri, Zulian Tanjungan mendapat imbalan atas perangai anak-anak malas yang berat mengerjakan tugas, Agus belanja untuk mengobati rasa sedih, Pakde travellling dan media pembayaran favorit Tojo saat mengumpulkan pernak-pernik AKB.

 

BNI adalah definisi singkat pertemanan antara kami dengan sebuah landasan filosofi friendship is the true relationship.

Sunday, July 26, 2015

Tulip Fever

Gua kembali kepada kebiasaan lama gua yakni rutin membaca. Dengan membaca gua merasa menjadi sahabat orang-orang hebat, mendaki kelas sosial, naik pangkat. Harusnya memang seperti itu, suatu waktu pernah ayah dari kerabat dekat berpesan, "Waktu Om seusia kamu, Om harus baca buku apapun minimal tiga puluh halaman". Tanpa mengurangi rasa hormat, beliau tidak muda pada zaman dimana sumber ilmu pengetahuan adalah twitter, path dan instagram. Membaca buku adalah kegiatan kaum minor, tidak cool, cupu abis. Sebaliknya, aktualitas diukur dengan informasi yang didapat dari facebook. Semua propaganda tanpa tanggung jawab yang ditulis disana adalah kebenaran, undang-undang dasar, wajib diimani, cool banget, gaul mampus.

Rutinitas membaca buku harus mengalami pelonjakan fluktuasi. Setidaknya gua nggak mau terjebak dalam generasi dimana semua ketidakberesan yang menimpa hidup lo terus dibebankan kepada Amerika, Yahudi, atau iluminati.

"Ini semua bukan salah kamu, salah aku, atau salah keadaan. Ini adalah konspirasi gerakan zionis. Aku sayang kamu,  please aku mau kita balikan".

Seketika sang pria ditembak rudal nuklir Korea Utara.

***
Kebiasaan membaca selalu berbanding lurus dengan kegemaran menilai. Seorang yang membaca buku sampai habis lantas beropini, pembaca buku setengah biasanya sangat yakin di awal tapi selalu berakhir di kata 'mungkin',  mereka yang membaca  buku pinjaman banyak tahu tapi tidak cerewet, dan kategori terakhir, kelompok marabahaya, menilai dari sampul dan daftar isi lalu bergosip eintertainment. Ditutup dengan  tawa palsu renyah, kwkwkw.

Gua memutuskan untuk beropini dan menilai di jalan yang halal, situs rating. Dalam dunia perbukuan ada sebuah laman ternama yaitu goodreads.com tempat pecinta buku seluruh dunia berbagi ulasan, kritik maupun rekomendasi. Dalam laman itu juga terdapat fasilitas pemberian rating, juga deteksi pintar tentang judul buku lain yang cocok dengan selera kita.

 
Dari situs ini gua mendapatkan satu rekomendasi buku menarik, ditulis oleh penulis Britania Raya Deborah Moggach, berjudul Tulip Fever.

***

Tulip Fever adalah sebuah cerita tentang seni, kecantikan, gairah, ketamakan, muslihat, dan balas budi yang berlatarkan Belanda pada tahun 1635. Sebuah masa dimana Belanda terkena wabah tulip mania atau tulip fever.

Perekonomian Belanda tumbuh pesat dan memicu persaingan antara pecinta bunga tulip. Mereka berlomba-lomba mencari bunga tulip yang paling indah dan nggak segan-segan membayar dengan harga mahal untuk membeli bunga tulip tersebut. Harga bunga tulip di Belanda semakin mahal, bahkan kabarnya ada jenis bunga tulip yang harganya sama dengan harga sebuah rumah. Tahun 1635, satu set bunga tulip yang berjumlah 40 tangkai dijual dengan harga 100.000 florin, bandingkan dengan pendapatan kalangan kelas menengah pada masa itu di Belanda yang hanya 150 florin. Tahun 1636, usaha bunga tulip menjadi salah satu bisnis yang perdagangan yang masuk dalam bursa saham dan diminati banyak orang. Kalangan pengusaha rela menjual tanah, rumah dan harta bendanya untuk berinvestasi di bisnis bunga tulip. Ironisnya, masa keemasan bisnis bunga tulip di Belanda hanya berlangsung setahun, karena pada tahun 1637 pasar bunga tulip jatuh dan harga bunga tulip ikut melorot.

Sampai hari ini, istilah "tulip mania" atau "tulipomania" atau "kegilaan tulip" masih digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan goncangnya perekonomian karena munculnya spekulan terhadap sesuatu trend bisnis yang sifatnya untung-untungan. Jika saja ahli sejarah jeli, fenomena ini sudah ada sejak lama menimpa Indonesia. Dunia akan sangat sepakat, gua rasa, dengan gejala sosial yang lebih sinting dari sekedar kegilaan akan sebuah bunga. Namanya gemstone fever, atau sebut saja akikmania.


Akikmania tidak hanya menggoncangkan perekonomian, tapi juga mencederai akal sehat, keretakan rumah tangga, dan menyebabkan banyak suami harus kedinginan tidur di sofa.

***
 
Di samping setting yang menarik, ide cerita dalam buku ini yang membuat gua harus membacanya, at least once in a life even just for a while. Tentang seorang kaya raya asal negeri Belanda bernama Cornelis Sandvoort, yang ingin mengabadikan semua kemahsyurannya dalam sebuah lukisan megah bersama sang istri cantik, Sophia.

Sandvoort lantas menyewa jasa pelukis muda bernama Jan van Loos. Gua curiga kalau Jan van Loos adalah kakek moyang dari Jack Dawson, karena kisah dua casanova melarat ini relatif mirip, seorang pelukis muda yang diam-diam jatuh cinta kepada perempuan yang dilukisnya.

Dari sini dimulai, sebuah epik cinta terlambat karena keadaan keduanya yang tidak memungkinkan. Kalau boleh gua kutip, sebuah tweet singkat dari Mbah Jiwo Tejo tentang deskripsi cinta rumit yang ternyata sudah ada sejak zaman Ramayana,

"Tuhan! Bila cintaku kepada Sinta terlarang, mengapa Kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku?"

Sebuah statemen tegas dari Rahvana yang cintanya kepada Sinta keduluan Rama.

***

Beberapa waktu lalu gua berkunjung ke kantor kedutaan Kerajaan Belanda. Sepertinya gua terkena tulip fever dalam definisi yang gua buat sendiri. Sebuah gairah akan hasrat memiliki tulip dalam bentuk yang lain, bantuan dana pendidikan. 
  
http://possore.com/cms/assets/uploads/2014/12/poster-Tulip-scholarship.jpg
Untuk kemudian memetik tulip sungguhan yang sudah lama gua kagumi, dari dulu.

Saturday, June 20, 2015

Elegi Bulan Suci


Akhir-akhir ini gua menjadi begitu melankolis. Melihat segala sesuatunya dari tolak ukur paling nadir, sudut pandang orang-orang putus asa yang selama ini kerap keluar dari sinar mata mereka yang yang tidak pernah bersyukur atas hidup. Seperti semesta dan kejadiannya terbuat dari ketidaksengajaan. Tuhan tidak sedang bermain dadu, kata Einstein. Perasaan ini sama sekali nggak enak.

Gua belum menemukan sama sekali penjelasan ilmiah tentang semua kekalutan ini. Pendidikan serta guru-guru di sekolah mengajarkan untuk tidak gampang percaya dengan hal yang dimulai dengan kalimat “katanya”, cenderung tidak berdasar, hanya omong kosong. Apalagi gejala ini susah dimengerti, sebuah perasaan tentang matinya euforia, pada momen-momen krusial padahal orang lain justru sesak dipeluk kebahagiaan dimana-mana. Tahun baru, bulan suci, hari raya, atau cuti bersama semua sama saja. Tidak ada gagap gempita, bertendensi sebaliknya, biasa saja.

Sementara itu di 165 km barat laut Jakarta, sebuah kota dengan populasi sekitar 1,5 juta jiwa, Bandar Lampung, ada gua sendirian berusaha untuk jujur sama diri sendiri. Menulis ini semua dalam sebuah ketakuan akan menjadi "manusia yang tidak semestinya" bergerak menyeruak. Teralienasi atau terpredikatkan minoritas barangkali menjadi sebuah hal yang paling gua benci. Tapi bagaimana bisa gua menghindar, jika kenyataan orang di kota ini menyambut bulan suci dengan hati warna-warni, sedang gua terbaring dalam ekspresi paling gulana dari biasanya.

Dalam hati coba mengibur diri sendiri, "Hi dude, you don't supposed to be that sad, because urip iki sing penting pokoke joged.




***

Gua ingin bercerita tentang buka puasa pertama. Buka puasa pertama buat gua seperti sebuah momen dalam ending serial drama Korea, sedih. Desain buka puasa pertama selalu dirancang untuk keluarga, sedang gua nggak pernah menjadi bagian dari keluarga manapun. Ada banyak orang baik di luar sana yang selalu bersedia mengajak gua untuk berbuka puasa pertama bersama keluarganya, tapi gua selalu berusaha menolak dengan kalimat yang paling santun. Itu semua merupakan waktu sakral untuk keluarga, gua nggak mau merusaknya begitu aja.

Pekerjaan sebagai seorang penyiar radio adalah keberkahan. Semenjak siaran, gua jadi punya alasan untuk terlihat normal buka puasa pertama tanpa keluarga. Jika ada yang tanya, "Oh sorry gua siaran. Jadi buka puasa di studio. Terima kasih tawarannya, selamat buka puasa pertama."

Perasaan seperti ini terus-menerus membuat diri terlatih sendiri. Dulu waktu di bangku sekolah mungkin hati belum sekuat ini untuk mandiri. Semenjak Ibu selamanya pergi, karena sebuah alasan kita anak-anaknya dewasa di tempat terpisah. Sampai sekarang. Bertemu berkumpul berempat kembali antara gua, Mas Iyo, Ari dan Cahyo adalah hal yang cuma bisa dikabulkan dalam tiga permintaan dari jin lampu.

Melihat sebuah keluarga menikmati bulan puasa dengan makanan sederhana adalah kecemburuan. Itu semua lebih dari cukup. Sajian mahal paling enak tidak akan menggantikan bahagianya kakak-adik berebut gorengan sisa satu yang memang kerap kali merusak persaudaraan. Gua selalu curiga bahwa pembunuhan pertama di dunia antara dua putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil bukan lantaran berebut Iklima, melainkan rebutan gorengan yang tinggal satu.


***

Dahulu masalah barangkali ada di jarak yang menghasilkan banyak biaya. Saat ini ketika jarak dapat ditempuh, biaya sudah bukan hal yang penting lagi, waktu menjadi musuh baru. Kita semua sudah terkubur dalam kesibukan yang sulit untuk dicarikan peluang senggang, menjadi suatu akumulasi dalam sebuah cita-cita kecil bahwa secepatnya harus berkumpul dan duduk dalam satu meja makan yang sama.

Mungkin gua mengalami krisis berkumpul dengan keluarga yang membuat semua hari besar untuk dirayakan bersama-sama dengan sanak saudara menjadi hal yang tidak terlalu dalam maknanya. Ini bisa jadi alasan kongkrit mengapa semua euforia hilang lalu tak ada.

Gua putuskan kembali mendengarkan Like The Rolling Stone-nya Bob Dylan dengan penghayatan lirik yang khidmat.

How does it feel, how does it feel?
To have on your own, with no direction home
Like a complete unknown, like a rolling stone

Selamat menjalani ibadah di bulan suci, berkumpul bersama orang terkasih dan bergumul dengan spiritualitas tanpa batas.



Thursday, March 26, 2015

Finally We Know that Creativity Is Great

“Creativity is the power to connect the seemingly unconnected.” – William Plomer

***

Cuaca London sedang dingin sekali. Tapi janji untuk bertemu orang ini tidak bisa tidak untuk ditepati. Sengaja kuambil kerja lembur beberapa hari yang lalu, supaya dapat jatah libur di hari ini. Sambil menunggu, ditemani segala macam hiruk-pikuk yang membaur, seperti yang sudah-sudah, London dipenuhi dengan orang-orang yang berseberangan dengan kenyataan. Hari ini bersitegang dengan kebijakan pemerintah tentang fasilitas publik, besok menantang Tuhan karena bosan dengan cuaca yang dinginnya menusuk rusuk. Apapun peradabannya, semua orang di dunia jadi terlihat sama saja.

Semoga memang benar sama saja. Karena yang akan kutemui hari ini adalah orang yang tak ingin satupun darinya kulihat berubah.

“Hai apa kabar? Ya ampun jenggot sama kumis kamu makin lebat ya.”

“Baik. Selalu baik. Haha, iya nih nggak sempet cukur. Kamu lama di London?”

“Cuma tiga hari. Makannya mepet banget kan. Eh kita kemana nih?”

“Naik kereta. Ini kereta kita. Let’s jump in.”

***
  
“Gila ya. Aku nggak pernah nyangka bisa nyusul kamu ke Inggris. Sekarang lihat, kita di kereta, berdua, dari London di perjalanan mau ke York!” Ternyata memang masih seperti dulu. Wajahnya dingin, tapi mulutnya selalu bawel.


“Haha iya. Kok bisa sih? Aku aja kaget dengernya. Terus kenapa pilih York coba? Orang Indonesia, pertama kesini paling ngebet ke Bigben, Buckhingham, Tussauds…”

“Kan perginya sama kamu. Hehe, jadi aku pilih jalan-jalannya yang agak ngaco. Males aku, nanti dikatain anak mainstream kekinian. Tempat yang kamu sebutin aku tetap mampir, cuma paling sama orang kantor.” Sindirannya, selalu sama. Dari dulu ia tak henti mengajakku untuk berselera normal, seperti orang kebanyakan. Mungkin kali ini ia lelah.

“Coba ceritain, holiday in the middle of working day? Nggak ngantor? Ambil cuti, apa gimana?” Penasaran. Pertanyaanku dari tadi, belum dia jawab.

“Oh ya aku belum cerita.  Jadi gini, selama bertahun-tahun kerja, Pak Sus bos aku di kantor, nawarin semacam achievement award buat aku, jalan-jalan, terserah kemana aja katanya.” Sambil senyum, pertanyaanku dijawab. Akhirnya.

“Pak Sus bos kamu yang ganjen itu? Terus…?”

“Aku pikir dulu gitu. Tapi ternyata dia nggak ganjen, malah rumpi abis. Cucok rempong, sumpah, demi apapun. Nah terus aku pilih London. Eh kata Pak Sus apa coba? Yaudah sekalian kebetulan kita dapat undangan, ada seminar bank sedunia. Itu mah sama aja aku kerja kan? Kezel.” Benar-benar masih seperti dulu. Aksen gaulnya, selalu tidak pas saja diterima standar selera yang kubangun.

“Pakai mantel sama sarung tangan kamu, sebentar lagi kita sampai. Di luar pasti dingin banget.”

***

Dua jam perjalanan kereta dari London. Kita berdua sampai di York. Suhu udara di sana menyentuh celcius di derajat kedua, bukan suhu yang sempurna untuk berjalan-jalan, tapi entah mengapa bersamanya menjadi lebih hangat. York adalah kota yang disusun atas objek wisata yang letaknya saling berdekatan. Bentuk kotanya terkotak-kotak, menjadi saksi jutaan sejarah Inggris.  Ditemukan oleh bangsa Roma pada tahun 71 SM, York merepresentasikan orang tua bijak yang bersahabat.


“Mau naik ini?” Kutawarkan padanya, bianglala raksasa York Wheel.

“Apaan sih kamu, di Dufan juga ada. Kita jalan aja yuk, aku mau lihat York City Walls. Katanya bagus.” Semangat, dia menarik tanganku.

Dengannya aku susuri York City Walls. Dulu tembok ini bertugas untuk melindungi warga dari perang, zaman bergeser,  tembok direnovasi, dijadikan jalan penghubung bagi warga.

“Eh bedanya York sama Yorkshire itu apa? Aku agak bingung daritadi.” Kali ini ia bertanya, masih menggenggamku.

“Yorkshire kotanya, kalau York itu county-nya. Kalau di Indonesia, semacam provinsi. Nah sekarang kita ada di Yorkshire.” Jelasku. Semoga memang benar-benar jelas.
 
“Aku salut sama bangunan-bangunan disini, klasik, kelihataannya udah lama banget, tapi kuat ya?”

“Buatnya niat. Orang Inggris percaya proses, bikinnya nggak sebentar, tapi coba lihat hasilnya. Everlasting, right?

“Nyindir aja teruuus..” Tiba-tiba dia menyela.

“Nyindir siapa?”  Tanyaku lagi heran.

“Aku lah. Nggak pernah sabar, nggak tahan jalanin proses…”

“Kamu ya yang ngomong? Bukan aku, haha…”

“Aku baca Lonely Planet yang Discover the Great Britain. Tahu nggak apa yang jadi sampulnya, York Minster. Itu beneran di York kan? Kesana yuk.” Pelan tapi pasti dia alihkan pembicaraan. Kelihaian ngelesnya sama sekali tidak berkurang.

“Takutnya nggak keburu. Disini jam empat atau jam lima toko-toko tutup. Gimana?”
“Mmh, yaudah deh. Terus kemana?”

How about afternoon tea? Ke Inggris nggak minum teh rugi. Gimana?”

Ooh lovely.”




***


Bangunannya luas, berlantai tiga, berwarna putih bersih dengan aksen abu-abu pada pilarnya. Tulisan Bettys Café Tea Room diukir sangat indah dengan cat emas. Estetika yang sempurna untuk sebuah tempat pertemuan yang ditunggu-tunggu.


 










 








 
 









 































































 










 



Secangkir teh sepertinya tidak bisa menenangkan kita berdua. Masa lalu memang seperti itu, selalu bikin naik darah.
















 








 
 
























***


Seminggu semenjak kepulangannya, aku email tentang kabar ini padanya.



To: Ellice_20@mail.com
Cc:
Judul:  Balik ke Inggris lagi, yuk?




Kamu kemarin nggak jadi kesini kan? Tujuh hari lagi aku pulang ke Indoesia, dengan sejuta sangat, boleh aku main ke rumah lagi? Alamat kamu masih yang lama kan? Aku harap rumah kamu belum ganti, jadi aku pikir masih muat buat kedatangan aku, sama keluarga besar juga.

Nanti kita balik ke Inggris lagi, aku sama kamu, dalam status di KTP yang suda beda. Aku sama kamu, nggak lajang lagi, barangkali?


***


Cerita fiksi ini diikutsertakan dalam Creativity is GREAT Competition yang diselenggarakan oleh @UKinIndonesia dan @fantasiousID

Karakter favorit di Game of Thrones beserta alasannya :
Petyr Baelish, karakter ini adalah jenius super sejati. Dibalik semua sikapnya, obsesi pada Catelyn Stark membuatnya sebagai flamboyan kejam yang masih punya cinta. Orang jahat, juga berhak punya cinta, bukan?