Kebenaran sederhana
tentang hidup ini adalah semua manusia
suatu saat akan mati.
Sahabat, keluarga,
tetangga, orang asing, orang bertanya alamat, pegawai negeri, wali kota, wali
murid atau wali dari mempelai wanita semuanya akan bertemu ajal. Beberapa dari
mereka yang mempunyai uang merasa mampu
untuk menunda kematian. Namun tetap saja, pejabat negara, pengusaha batu
bara, penjual Hermes KW super, tukang fotokopi, atau joki TOEFL dengan score di atas 500, pada hari yang tidak
diketahui pasti bertemu ujung hidupnya. Cendikiawan dengan kecerdasannya
mungkin bisa menghindar. Tapi sama saja, mereka meninggal. Orang baik? Ibu
adalah orang yang sangat baik. Namun ia menua, sakit, lalu seperti manusia pada
akhirnya: Ibu meninggal.
Ternyata, orang baik
juga harus meninggal.
Jangan pernah takut
mati. Karena itu semua adalah fase kehidupan yang semuanya bakal mengalami.
Nggak tahu kenapa gua selalu antusias menulis tentang turning point of human's life. Empat tahun lalu gua juga menulis
sebuah fase kehidupan tapi mungkin nggak seserius ini. Tentang kegelisahan hati
dibawah pengaruh gejolak hormon pemuda masa kini (Sorry,
i mean pemuda masa itu), konidisi empat tahun yang lalu cemas menunggu
keputusan bisa kuliah dimana. Waktu berlalu dengan kecepatan cahaya, ketukan
birama 4/4, melewati ribuan momen inflasi dan deflasi, menghasilkan
perlahan-lahan kerutan penuaan di wajah, sebuah keteraturan akah hukum alam,
kecenderungan semesta, misteri kosmis.
Meninggalkan hingar
bingar ibu kota adalah sebuah keputusan yang nggak akan gua sesali, sampai
kapanpun. Keputusan daftar kuliah di tempat yang nggak familiar diantara
pikiran mainstream produk pergaulan
anak-anak funky Jabodetabek, sehingga
dalam relung jiwa mereka yang dalam terbersit suatu tanya "What the hell in Lampung that are you looking
for?" Lampung nggak pernah kasih apa yang gua cari. Karena
Lampung cuma kasih apa yang gua butuh.
Contohnya dari dulu gua berusaha mencari fosil T-Rex, tapi nggak pernah ketemu.
Karena ternyata gua nggak butuh itu semua.
Lampung kasih gua
kopi luwak, keripik pisang Yen-yen, bubur CP, pantai dengan terumbu karang,
siaran, buat film, kesempatan jadi asisten dosen, keluarga, sahabat, dan drama
romantika anak muda. Nikmat mana lagi yang mau gua ingkari?
***
Mengunjungi prosesi
pemakaman adalah hal yang banyak gua lakukan akhir-akhir ini. Jelas itu semua
nggak pernah direncanakan (kepikiran ada orang susun agenda bulan depan tentang
pemakaman siapa aja yang bakal dia datangin, jauhin orang itu, dia sinting),
entah apa penyebabnya tapi yang pasti gua sekarang nggak pernah takut akan
kematian. Paling ada satu yang gua khawatirin, waktu mati nanti belum ada hasil
ciptaan gua yang bisa kekal dan abadi untuk menyumbang kemajuan peradaban umat
manusia. Ini serius, sumpah.
Nggak usah penemuan
penting abad ini sampai gua harus diliput sama New York Times, atau maha karya
instalasi seni rupa yang dipajang di museum di Barcelona, hal yang simple,
biasa, kecil, dan mudah di askses siapa aja : skripsi misalnya.
Skripsi adalah fase
hidup anak manusia sebelum mati, setelah alay. Skripsi di desain sebagai
penggati ujian para Nabi dan Rasul bagi kita mahasiswa di Negara Kesatuan
Republik Indonesia, suatu prosesi pengetesan mental dan kesabaran juga
kesungguhan hati akan janji dalam hati memajukan pendidikan di negeri ini.
Nggak usah kita buat bahtera seperti yang pernah dibuat Nuh, srkipsi saja. Atau
menghancurkan berhala seperti yang
Ibrahim lakukan, skripsi sudah cukup mewakili. Apalagi memperingati kaum
penyuka sesama seperti perjuangan Luth pada masanya, karena kalau skrispi ini
selesai, semua impas. Ternyata, skripsi diciptakan dengan niat yang indah
sekali.
Tapi niat indah itu
belum bisa gua baca sepenuhnya. Gua saat ini terperangkap dalam pusara misteri
sebuah pembuatan skripsi. Mungkin memang seperti itulah track record hidup yang harus gua tinggali. Niatnya cuma masuk,
kerjain, dan keluar secepatnya. Tapi pengalaman mengaharuskan gua terjebak
lebih dalam, ia ingin gua menyelam, bukan Cuma berenang diatasnya. Pengalaman
menyeret gua masuk untuk tahu keindahan yang lebih esensial, yang orang-orang
lain jarang lakukan, seperti orang-orang saat ini, atau orang terdahulu yang
mati tanpa berbekas.
Pengalaman itu ada
di antara orang-orang yang ingin berhenti sejenak, sekedar minum teh tarik
dalam perbincangan aksen melayu hangat masyarakat di Pulau Langkawi. Terkagum
menyaksikan ajaibnya adat-istiadat orang Palembang ketika sarapan dengan
mpek-mpek dan cuka lezat buatan mereka, atau terpesona dengan lagu Sepasang
Mata Bola yang digubah secara jenius oleh pengamen di Stasiun Gambir. Disitulah
pengalaman benar-benar berada, disetiap hirup kopi jos pedagang angkring
Yogyakarta, dan pertunjukan spektakuler teater musikal Selendang Merah oleh
Garin Nugroho di Solo.
Seperti itulah
kondisi penggarapan skripsi gua. Temanya tentang representasi ideologi komunis
dalam sebuah film dengan menggunakan metode semiotika. Sebuah penelitian yang
nggak tau kapan akan selesainya. Hal ini diperparah dengan dosen pembimbing
(gua akan membahas beliau dalam satu tulisan khusus) yang mengharuskan gua
untuk membaca referensi dari buku-buku asing yang agak memakan waktu buat
mengerti dan memaknainya. Belum lagi projek film yang ia amanahkan, iya untuk
bisa lulus dengan tenang gua harus membuat satu film pendek untuk
diikutsertakan dalam sebuah festival. Sepertinya gua sudah mulai butuh tenaga
pasukan jin.
Sebenarnya ini semua
nggak bisa dijadikan sebuah permasalahaan. Satu waktu gua menemukan buku super
inspirasional judulnya "Skripsi Kelar dalam 30 Hari". Dari sampul
bukunya menggambarkan sebuah harapan dan optimisme tinggi bahwa skripsi adalah
pekerjaan yang lo bisa selesaikan dalam waktu satu bulan saja. Sinopsis di
halaman belakang kata-katanya menggetarkan hati, ajaib, penuh delusi. Semua
orang harus membaca buku ini, atau minimal pernah meminjamnya dari
perpustakaan.
***
Skripsi buat gua
adalah sebuah perjalanan jiwa. Beberapa sahabat dekat pernah berkata bahwa lo
nggak harus bikin sesuatu yang master piece
dalam skripsi. Karena akhirnya cuma akan jadi sebuah tatakan. Tapi gua nggak
pernah sepakat. Makna skrispsi sesungguhnya ada di dalam proses pembuatan skripsi itu sendiri.
Berinteraksi dengan orang asing, membaca artikel atau jurnal ilmiah, mengutip
buku-buku klasik dalam perpustakaan daerah, berdoa lebih lama dalam sujud
terakhir memohon kelembutan hati dosen pembimbing, semuanya membuat kita
menjadi makhluk-makhluk spiritual yang menjalani hidup dalam wujud mahasiswa.
Aah itu semua indah banget.
Tapi mungkin kalian
semua belum lupa, kalau gua adalah sealah seorang pengidap procastinator
stadium empat yang sudah akut. Disinilah semua masalah itu berakar. Harusnya
memang harus di ruqiyah, atau bekam,
atau totok aura, atau terserah apapun itu, sesuatu yang bisa membuat gua
mengerjakan apapaun secara langsung. Tanpa harus menunggu lima menit untuk diam
yang ujung-ujungnya jadi lima jam, lima hari, lima bulan.
Momen wisuda dan
dipeluk oleh teman-teman, teman-teman yang setelahnya menjadi public relation, bankir, pekerja media,
menikah atau melanjutkan usaha orang tua adalah saat-saat penuh keheningan.
Sebuah paradoks kembali tampil, ditengah euforia orang-orang yang menyelesaikan
studi, gua merasa bukan bagian dari mereka. Gua sendirian, teraliensi.
Lalu apa yang gua
lakukan setelahnya? Jujur dalam hati gua memiliki plan
untuk tidak terlalu lama dalam menjalani kuliah ini. Tapi rutinitas
kerjaan, problem yang sifatnya privasi, dan banyak hal aksidental yang butuh
bantuan gua seprti Nicholas dalam film Janji Joni, membuat capek sendiri dan
harus menyusun second plan yang lebih
realistis. Sebenarnya ini adalah sebuah tradisi orang Italia, dimana lo merasa
bahwa kesenangan hakiki adalah jika lo nggak melakukan apa-apa. Tapi mungkin
saat ini gua berada dalam posisi ini. Gua lagi ingin banget tenang, merasakan
hembusan udara kota Bandar Lampung, menyelami pengalaman absurd lainnya,
mendengarkan nafas yang masuk ke dalam paru-paru tanpa ada yang boleh ganggu. Il dolce far niente, the sweetness of doing nothing.