Friday, August 16, 2013

Il Dolce Far Niente


Kebenaran sederhana tentang  hidup ini adalah semua manusia suatu saat akan mati.
Sahabat, keluarga, tetangga, orang asing, orang bertanya alamat, pegawai negeri, wali kota, wali murid atau wali dari mempelai wanita semuanya akan bertemu ajal. Beberapa dari mereka yang mempunyai uang merasa mampu  untuk menunda kematian. Namun tetap saja, pejabat negara, pengusaha batu bara, penjual Hermes KW super, tukang fotokopi, atau joki TOEFL dengan score di atas 500, pada hari yang tidak diketahui pasti bertemu ujung hidupnya. Cendikiawan dengan kecerdasannya mungkin bisa menghindar. Tapi sama saja, mereka meninggal. Orang baik? Ibu adalah orang yang sangat baik. Namun ia menua, sakit, lalu seperti manusia pada akhirnya: Ibu meninggal.

Ternyata, orang baik juga harus meninggal.

Jangan pernah takut mati. Karena itu semua adalah fase kehidupan yang semuanya bakal mengalami. Nggak tahu kenapa gua selalu antusias menulis tentang turning point of human's life. Empat tahun lalu gua juga menulis sebuah fase kehidupan tapi mungkin nggak seserius ini. Tentang kegelisahan hati dibawah pengaruh gejolak hormon pemuda masa kini (Sorry, i mean pemuda masa itu), konidisi empat tahun yang lalu cemas menunggu keputusan bisa kuliah dimana. Waktu berlalu dengan kecepatan cahaya, ketukan birama 4/4, melewati ribuan momen inflasi dan deflasi, menghasilkan perlahan-lahan kerutan penuaan di wajah, sebuah keteraturan akah hukum alam, kecenderungan semesta, misteri kosmis.

Meninggalkan hingar bingar ibu kota adalah sebuah keputusan yang nggak akan gua sesali, sampai kapanpun. Keputusan daftar kuliah di tempat yang nggak familiar diantara pikiran mainstream produk pergaulan anak-anak funky Jabodetabek, sehingga dalam relung jiwa mereka yang dalam terbersit suatu tanya "What the hell in Lampung that are you looking for?" Lampung nggak pernah kasih apa yang gua cari. Karena Lampung  cuma kasih apa yang gua butuh. Contohnya dari dulu gua berusaha mencari fosil T-Rex, tapi nggak pernah ketemu. Karena ternyata gua nggak butuh itu semua.

Lampung kasih gua kopi luwak, keripik pisang Yen-yen, bubur CP, pantai dengan terumbu karang, siaran, buat film, kesempatan jadi asisten dosen, keluarga, sahabat, dan drama romantika anak muda. Nikmat mana lagi yang mau gua ingkari?

***

Mengunjungi prosesi pemakaman adalah hal yang banyak gua lakukan akhir-akhir ini. Jelas itu semua nggak pernah direncanakan (kepikiran ada orang susun agenda bulan depan tentang pemakaman siapa aja yang bakal dia datangin, jauhin orang itu, dia sinting), entah apa penyebabnya tapi yang pasti gua sekarang nggak pernah takut akan kematian. Paling ada satu yang gua khawatirin, waktu mati nanti belum ada hasil ciptaan gua yang bisa kekal dan abadi untuk menyumbang kemajuan peradaban umat manusia. Ini serius, sumpah.

Nggak usah penemuan penting abad ini sampai gua harus diliput sama New York Times, atau maha karya instalasi seni rupa yang dipajang di museum di Barcelona, hal yang simple, biasa, kecil, dan mudah di askses siapa aja : skripsi misalnya.

Skripsi adalah fase hidup anak manusia sebelum mati, setelah alay. Skripsi di desain sebagai penggati ujian para Nabi dan Rasul bagi kita mahasiswa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, suatu prosesi pengetesan mental dan kesabaran juga kesungguhan hati akan janji dalam hati memajukan pendidikan di negeri ini. Nggak usah kita buat bahtera seperti yang pernah dibuat Nuh, srkipsi saja. Atau menghancurkan berhala seperti yang  Ibrahim lakukan, skripsi sudah cukup mewakili. Apalagi memperingati kaum penyuka sesama seperti perjuangan Luth pada masanya, karena kalau skrispi ini selesai, semua impas. Ternyata, skripsi diciptakan dengan niat yang indah sekali.

Tapi niat indah itu belum bisa gua baca sepenuhnya. Gua saat ini terperangkap dalam pusara misteri sebuah pembuatan skripsi. Mungkin memang seperti itulah track record hidup yang harus gua tinggali. Niatnya cuma masuk, kerjain, dan keluar secepatnya. Tapi pengalaman mengaharuskan gua terjebak lebih dalam, ia ingin gua menyelam, bukan Cuma berenang diatasnya. Pengalaman menyeret gua masuk untuk tahu keindahan yang lebih esensial, yang orang-orang lain jarang lakukan, seperti orang-orang saat ini, atau orang terdahulu yang mati tanpa berbekas.

Pengalaman itu ada di antara orang-orang yang ingin berhenti sejenak, sekedar minum teh tarik dalam perbincangan aksen melayu hangat masyarakat di Pulau Langkawi. Terkagum menyaksikan ajaibnya adat-istiadat orang Palembang ketika sarapan dengan mpek-mpek dan cuka lezat buatan mereka, atau terpesona dengan lagu Sepasang Mata Bola yang digubah secara jenius oleh pengamen di Stasiun Gambir. Disitulah pengalaman benar-benar berada, disetiap hirup kopi jos pedagang angkring Yogyakarta, dan pertunjukan spektakuler teater musikal Selendang Merah oleh Garin Nugroho di Solo.

Seperti itulah kondisi penggarapan skripsi gua. Temanya tentang representasi ideologi komunis dalam sebuah film dengan menggunakan metode semiotika. Sebuah penelitian yang nggak tau kapan akan selesainya. Hal ini diperparah dengan dosen pembimbing (gua akan membahas beliau dalam satu tulisan khusus) yang mengharuskan gua untuk membaca referensi dari buku-buku asing yang agak memakan waktu buat mengerti dan memaknainya. Belum lagi projek film yang ia amanahkan, iya untuk bisa lulus dengan tenang gua harus membuat satu film pendek untuk diikutsertakan dalam sebuah festival. Sepertinya gua sudah mulai butuh tenaga pasukan jin.

Sebenarnya ini semua nggak bisa dijadikan sebuah permasalahaan. Satu waktu gua menemukan buku super inspirasional judulnya "Skripsi Kelar dalam 30 Hari". Dari sampul bukunya menggambarkan sebuah harapan dan optimisme tinggi bahwa skripsi adalah pekerjaan yang lo bisa selesaikan dalam waktu satu bulan saja. Sinopsis di halaman belakang kata-katanya menggetarkan hati, ajaib, penuh delusi. Semua orang harus membaca buku ini, atau minimal pernah meminjamnya dari perpustakaan.



***

Skripsi buat gua adalah sebuah perjalanan jiwa. Beberapa sahabat dekat pernah berkata bahwa lo nggak harus bikin sesuatu yang master piece dalam skripsi. Karena akhirnya cuma akan jadi sebuah tatakan. Tapi gua nggak pernah sepakat. Makna skrispsi sesungguhnya ada di dalam  proses pembuatan skripsi itu sendiri. Berinteraksi dengan orang asing, membaca artikel atau jurnal ilmiah, mengutip buku-buku klasik dalam perpustakaan daerah, berdoa lebih lama dalam sujud terakhir memohon kelembutan hati dosen pembimbing, semuanya membuat kita menjadi makhluk-makhluk spiritual yang menjalani hidup dalam wujud mahasiswa. Aah itu semua indah banget.

Tapi mungkin kalian semua belum lupa, kalau gua adalah sealah seorang pengidap procastinator stadium empat yang sudah akut. Disinilah semua masalah itu berakar. Harusnya memang harus di ruqiyah, atau bekam, atau totok aura, atau terserah apapun itu, sesuatu yang bisa membuat gua mengerjakan apapaun secara langsung. Tanpa harus menunggu lima menit untuk diam yang ujung-ujungnya jadi lima jam, lima hari, lima bulan.

Momen wisuda dan dipeluk oleh teman-teman, teman-teman yang setelahnya menjadi public relation, bankir, pekerja media, menikah atau melanjutkan usaha orang tua adalah saat-saat penuh keheningan. Sebuah paradoks kembali tampil, ditengah euforia orang-orang yang menyelesaikan studi, gua merasa bukan bagian dari mereka. Gua sendirian, teraliensi.

Lalu apa yang gua lakukan setelahnya? Jujur dalam hati gua memiliki plan untuk tidak terlalu lama dalam menjalani kuliah ini. Tapi rutinitas kerjaan, problem yang sifatnya privasi, dan banyak hal aksidental yang butuh bantuan gua seprti Nicholas dalam film Janji Joni, membuat capek sendiri dan harus menyusun second plan yang lebih realistis. Sebenarnya ini adalah sebuah tradisi orang Italia, dimana lo merasa bahwa kesenangan hakiki adalah jika lo nggak melakukan apa-apa. Tapi mungkin saat ini gua berada dalam posisi ini. Gua lagi ingin banget tenang, merasakan hembusan udara kota Bandar Lampung, menyelami pengalaman absurd lainnya, mendengarkan nafas yang masuk ke dalam paru-paru tanpa ada yang boleh ganggu. Il dolce far niente, the sweetness of doing nothing.




Friday, April 19, 2013

Kembali

Hai, apa kabar semuanya?

Gua Indra Julianta, seorang yang udah lama nggak tau caranya punya waktu buat menulis lagi.
Menulis yang bisa bahagiain diri sendiri, orang-orang, debu jalanan, tukang koran, pelayan KFC, penjual DVD bajakan, penjual DVD asli, padi di sawah, jerawat mau pecah, jagung di ladang, dan bahkan tentara perang Suriah.

Mendadak nggak punya hasrat. Menulis karena hati ingin menulis.

Sibuk baca, sibuk kuliah, sibuk siaran, sibuk di jalan, sibuk yang disibuk-sibukin dan apapun alasan sibuk yang selalu gua buat sendiri nggak berhenti-berhenti. Sambil merasa puas akan segala pencapaian, sama mimpi-mimpi yang padahal baru setengah jadi.

Banyak sesuatu yang gua lewatkan begitu saja tanpa satupun mengabadikannya dalam sebuah tulisan. Paling-paling up date lewat Twitter. Habis itu, ngerasa jadi orang paling chessy sedunia dan sekonstelasi alam semesta. Dude, twitteran adalah aktifitas yang kadang buang waktu dan kelewat useless. Cowboy Junior juga bisa, tanpa harus menunggu bidadari jatuh dari surga di hadapanmu, eeeeaaa.

One of the most author that i adore Pramoedya Ananta Toer, menulis dalam salah satu bukunya yang isinya,
"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." (Mama, 84)
Orang yang menulis akan disayangi oleh orang lain, lebih dari siapapun. Menulis adalah sebuah perjalanan jiwa, sebuah pencarian akan spiritualitas yang rindu akan kodratnya, merdeka. Nggak ada harga yang bisa membayar pikiran-pikiran bebas, kepuasan tanpa batas, dan rasa bangga karena orang-orang berubah karena sebuah cerita, yang ditulis pada malam menjelang pagi, dan dibuat dari hati untuk hati.

Gua mau menjadi anak kampung yang ceritanya diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Andrea Hirata. Bermimpi menjadi Alan Lightman, menulis dengan bahasa sains, kimia, atau entah itu fisika. Bahkan di cap gila macam Paulo Coelho juga nggak apa-apa, tapi setiap tahunnya selalu dicalonkan sebagai predikat juara nobel sastra. Aah, indahnya hidup mereka. Abadi dalam buku-buku yang mereka tulis, bersampul cover dibuat dengan inspirasi visual hadiah dari selera seni yang tinggi, nggak lupa dibawahnya tertera seruan orang-orang beken menyuruh untuk membaca dan beli buku tersebut banyak-banyak.

It's been a long time i'm not write anything. Rasanya kaya lagi datang ke resepsi pernikahan sendirian. Tetap berjalan, tapi hati nggak bisa dibohongin karena akan selalu merasa ada yang kurang.

Sampai ketemu di postingan selanjutnya, jangan lupa bahagia.