Monday, July 16, 2018

Hidup Mahasiswa

Sabtu, 14 Juli 2018

Libur bagi seseorang yang memiliki profesi sepertiku jelas berharga. Sehingga momen seperti ini harus dirayakan dengan menikmati kehidupan. Aku mempunyai cara bekerja dengan berusaha tidak mengabaikan lini-lini kehidupan: karir, pribadi, keluarga, spiritual, dan sosial. Semuanya harus meliputi aspek yang kusebutkan. Walaupun ada banyak ragu, porsinya tidak akan pernah benar-benar rata.

Aku pernah melewati kesamaan fase ini dalam ujian berkehidupan mahasiswa. Segitiga bermuda yang meliputi organisasi, kuliah dan menjalani relationship. Stereotipeku tentang klasifikasi collage life ini bisa diabaikan. Tapi tidak ada salahnya untuk dibaca terlebih dahulu.

Tipe pertama adalah organisator. Hidupnya didedikasikan untuk berserikat, menimba pengalaman dari interaksi langsung dengan kenyataan, serta pengorbanan demi kemaslahatan umat - katanya. Berpindah dari satu progja ke progja yang lain. Sangat dinamis. Mereka merupakan jelamaan manusia-manusia altruis, ikhlas menomorduakan kepentingan pribadi demi kepentingan orang banyak. Ah, sungguh aksi yang heroik. Kalian pahlawan!

Tipe yang kedua penyembah IPK. Kalau Agnes Monica fokus kuliah - itulah mereka kira-kira. Waktunya dihabiskan untuk belajar dan persiapan ujian. Dinamika kampus kedengaran kurang menarik. Kurang asyik, so pragmatic. Organisasi adalah wadah buang-buang waktu. Hubungan cinta tak lebih dari musuh anak muda dalam menuntut ilmu. Nilai adalah segalanya, karena bagi mereka segalanya butuh dinilai.

Yang terakhir yaitu golongan sosialis. Pacaran, bergaul, ngegeng, nonton konser, ke mal, nonton bioskop, dan party senantiasa. Kuliah cukup titip absen, organisasi cukup hadir di acara puncak. Karena itu semuanya, tidak sepenting prestasi happening di explore instagram.

Sangat stereotype kan? Sudah kubilang.

***



Klasifikasi di atas adalah subjektifku tentang pengalaman hidup di perkuliahan. Rata-rata mahasiswa hanya konsisten menjalani dua tipe secara bersamaan. Misal, kuliah-relationship, kuliah-organisasi, atau organisasi-relationship. Aku rasa tidak benar-benar ada yang sanggup menjalani semuanya, kecuali dengan intensitas yang berfluktuasi. Ada juga bahkan yang tidak memilih ketiganya. Tidak kuliah, tidak organisasi, tidak punya pacar. Ke kampus wi-fi-an mengunduh film bajakan dan pulang. Mereka menjalani me time dengan tekun dan tanpa ampun.

Aku menulis di sela-sela persiapan menonton perebutan tempat ketiga piala dunia. Malam ini aku berencana menonton pertandingan nanti di salah satu lounge berdua saja. Bersama istriku, perempuan yang kudapatkan dari hasil mati-matian menjaga keseimbangan kehidupan organisasi, kuliah dan relationship saat kuliah.

Saturday, July 14, 2018

Belajar Mencintai Detail

Jum'at, 13 Juli 2018

Aku bangun tidur cukup pagi. Kebijakan kantor baru tentang penyiar yang harus datang sebelum 04.45 pagi, membuat aku harus bangun lebih awal. Untuk segala hal yang baik dan berdasar, aku tidak mau protes. Apa pun mekanismenya, aku siap taat.

Siangnya aku menonton Isle of Dogs. Film ini sungguh keren sekali. Wes Anderson lagi-lagi, membawa semua karyanya ke level lain. Moonrise Kingdom adalam film pertamanya yang kutonton. Sebuah perfeksionisme difilmkan, itulah kesanku. Beberapa ciri khas Wes Anderson yang bisa kamu jumpai diantaranya:

1. Simetris
Sebuah keseimbangan visual. Aku tergila-gila dengan rata kanan-kiri. Puncaknya bisa kamu temui dalam The Grand Budapest Hotel, perayaan untuk penggila simetrisme.


2. Komposisi Warna
Skema warna dalam film-filmnya seolah membuat pernyataan yang kuat. Pernah dalam fase hidup pengalamanku, membenci warna-warna pastel. Pastel buatku perlambang sikap yang ambigu, sahabatnya abu-abu. Tapi ada suatu kejadian yang membuat hati melunak. Diskusi dengan seseorang yang tergila dengan paduan warna ini, ditambah Wes Anderson memperkuat keyakinan, bahwa warna-warna ini ternyata punya efek yang menggembirakan.


3. Musik
Musik dengan cita rasa yang elegan namun tidak lazim dan sulit diprediksi adalah penjelasanku tentang scoring audio pendukung dalam film-filmnya. Aku menikmatinya. Aku jatuh cinta.


4. Karakter dengan Dialog Datar
Karakternya didandani dengan niat sungguh-sungguh. Bahkan aksesoris dan properti penunjang selalu membuat hati gembira. Porsinya cukup pas, unik dan berkelas. Ditambah intonasi dialog datar dengan komedi mengalir yang terdengar serius, ekspresi kaku, dan konflik yang oh my wow.



***

Satu yang kupelajari dari Wes Anderson adalah detail. Teringat kata-kata Mbak Najwa Shihab. Ia selalu menggarisbawahi tentang hal ini, menurutnya, "Yang terbaik adalah mereka yang mencintai detail". Entah mengapa aku selalu sepakat.


Terbayang jika semua orang, apapun pekerjaannya, benar-benar jatuh cinta pada detail.


Friday, July 13, 2018

PSSI-ku Tidak Kubiarkan

Kamis, 12 Juli 2018

Hari ini tidak banyak yang terjadi. Namun satu hal yang ingin kusyukuri, aku mulai menikmati momen menulis setiap hari. Pernah dalam sebuah seminar kepenulisan yang kuhadiri langsung, seorang penulis perempuan, tidak terlalu terkenal, Dewi Lestari namanya, mengatakan untuk memulai sesuatu yang berat, tubuh harus terbiasa dengan beban-beban ringan yang rutin dan konsisten. Untuk dapat membaca Tolstoy atau Albert Camus, barangkali seseorang harus melewati Raditya Dika terlebih dahulu. Untuk menjadi penulis nobel sastra, bisa jadi dimulai dari menulis jurnal setiap hari. Analoginya seperti itu.

Ah, analogi. Kata-kata itu, membuatku terdengar cakap dan berkilau. Ditambah literally, pasti lebih brilian. Jadi analoginya, literally, hi hi hi aku jadi geli sendiri.

***

Aku tidak sabar menunggu malam hari. Tim nasional Indonesia U-19, garuda muda, bertanding. Memasuki babak semifinal dalam piala AFF U-19 bertemu musuh bebuyutan. Saudara serumpun, tetangga berisik, harimau malaya. Kemudian tiba-tiba memori terlempar di akhir tahun 2012. Saat mewakili RRI dalam siaran negara tiga serumpun di Langkawi, Malaysia.

Waktu itu aku satu meja, makan malam dengan delegasi RTM (Radio Televisi Malaysia). Mereka bertanya tentang pemain timnasnya yang harus dikawal dengan barakuda untuk keluar masuk stadion.  Disitu aku benar-benar merasakan atmosfer rivalitas dua negara yang cukup sengit. Ternyata berat juga jadi orang Indonesia di Malaysia. Salam hormatku untuk para buruh migran kita yang telah menjadi representasi bangsa yang sabar di sana.

Pertandingan berakhir dengan skor imbang 1-1. Banyak sekali hal-hal menyedihkan terjadi. Sedih pertama, Egi Maulana sang pemain muda harapan bangsa negara cidera. Sudah jauh ia terbang dari klubnya di Polandia sana. Air matanya bercucuran, persis anak muda yang hendak ditinggal kekasihnya PJJ.

Kesedihan selanjutnya, lampu stadion mati. Sesaat sebelum adu pinalti, mendadak seisi stadion gelap. Kemudian sontak para penonton menyalakan lampu senter dari ponselnya. Kondisi mendadak dilematis. Hati malu tapi suasana berubah romantis. Seperti sedang berada di tengah lagu Fix You dalam konser mahakarya Coldplay. Lights will guide, guide apa? You home.

Kesedihan ketiga, kita kalah. Adu pinalti dengan tiga penendang gagal mencetak gol. Bangsa ini patah hati untuk yang kesekian kali.



***

Seperti biasa, dibalik kesalahan, dibalik kekalahan, idealnya akan dilakukan evaluasi. Kali ini masalahnya dimana? Menurut salah satu dosenku di kampus dulu, ibu Ida, masalah terjadi karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Ekspektasi tinggi adalah asal muasal masalah itu sendiri. Jadi masalahnya bukan karena federasi, bukan karena ketua PSSI. Masalahnya adalah harapan penduduk Indonesia yang terlalu tinggi, yang tidak sesuai dengan realita kinerja federasi, yang tidak sesuai dengan kapasitas ketua PSSI.

Aku punya motif egois dalam menginginkan tim nasional sepak bola menjadi lebih baik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aku ingin ketua PSSI diganti.

Thursday, July 12, 2018

Lelap Kilat

Rabu, 11 Juli 2018

Semifinal piala dunia Rusia 2018 kembali berlangsung. Agak aneh memang, untuk laki-laki yang pernah menggantungkan separuh takdirnya pada sepak bola, aku justru tidak terlalu menyukai gagap gempita piala dunia. Bagiku euforia ini terlihat artifisial dan berlebihan. Biasanya akan ada banyak penggemar sepak bola dadakan, komentator aji mumpung, pengamat karbit, dan suporter cap jamur di musim hujan.

Terbaca sangat arogan. Bukankah seharusnya aku justru bahagia? Tanyaku dalam cermin yang memantulkan rupa wajah diri yang tidak ganteng-ganteng amat.

Idealnya, sesuatu yang kugemari menjadi favorit semua orang. Bukankah itu hal yang justru istimewa? Namun kenapa justru jadi cemberut hatinya? Ada apa? Hai rumput tetangga yang lebih kacau, mungkin kau tahu jawabannya.

Sudah lupakan saja. Lebih baik salah paham daripada memahamiku. Karena untuk sepaham denganku, tidak cukup dengan sekedar melewati pergulatan hidup dan pencarian yang kalut.

***

Kembali kepada piala dunia. Setelah selesai siaran malam biasanya aku mengantuk. Jam nenunjukan 00.35, namun ku urungkan saja niat untuk langsung tidur. Laptopku kena gangguan, baterainya tidak mau di-charge setelah ku-update operation system-nya. Sialnya manusia yang hidup di tahun 2018, rusak laptop membuat hidup tidak tenang. Seperti ada bagian badan yang sakit, buru-buru harus diobati. Ketergantunganku akan alat-alat elektronik semakin akut, seperti remaja kehilangan eksistensi yang terlepas dari kerumunan gengnya dalam konser Taylor Swift. Aku mati gaya.

Istriku, Fellicia, dia belum juga tidur. Alasannya ingin menonton piala dunia. Barangkali ini termasuk salah satu yang kupermasalahkan di awal tulisan tadi. Mendadak ia menjadi hooligan. Fakta besok pagi dia harus bekerja pagi, seperti tidak ada pengaruhnya. Demam piala dunia telah merenggut jiwanya. Ah, sialan. Aku suami yang kecolongan.

***

Perancis berhasil mengalahkan Belgia. Skornya 1-0 dan cukup menegangkan. Pertandingan tadi malam menyisakan masalah baru, yakni kurang tidur. Siangnya aku mengantuk, sangat mengantuk. Beberapa waktu lalu aku membaca tentang suatu kebudayaan asal Spanyol, bernama siesta. Ajaibnya budaya, bahkan tidur siang jika diurus dengan baik oleh negara bisa juga menjadi warisan budaya. Dan di negaraku - dengan tingkat populasi pemalas yang cukup tinggi, kita adalah ahlinya tidur siang,  di Spanyol kita semua bisa menjadi budayawan.

Berbicara tentang siesta, yang menarik tentu saja bagaimana cara kita bisa fit untuk kembali beraktifitas setelah tidur siang kilat tersebut. Karena istirahat jam makan siang relatif sebentar, tentunya kita tidak boleh terlena dalam lelap lama-lama. Tapi pertanyannya apakah bisa tidur siang sebentar dengan kepuasaan yang maksimal? Ternyata kuncinya adalah meminum kopi sebelum terlibat dalam selebrasi siesta.

Aku mengutip dalam sumber vox.com, "if you nap for longer than 15 or 20 minutes, your brain is more likely to enter deeper stages of sleep that take some time to recover from. But shorter naps generally don't lead to this so-called 'sleep inertia' — and it takes around 20 minutes for the caffeine to get through your gastrointestinal tract and bloodstream anyway."

Ternyata kopi membutuhkan waktu 20 menit untuk benar-benar bekerja di otak. Jadi sebelum siesta, disarankan meminum kopi dan silahkan lakukan tidur kilat dengan durasi maksimal 20 menit. Jangan sampai lebih, karena khawatir masuk ke level tidur yang lebih dalam. Seperti sensasi terlalu lama tidur dan saat bangun biasanya langsung akan merasa pusing. Cukup tidur siang dengan durasi 15-20 menit saja sehingga ketika bangun maka efek kafein dalam kopi sudah bekerja. Kondisi kita menjadi segar, dan siap kembali melakukan aktifitas.

***



Aku mencobanya. Cukup asyik. Voila! The life balance in the hectic hours was really happened. Untuk teman-teman Spanyol-ku, gracias amigo.

Tuesday, July 10, 2018

Jatuh Cinta pada Waktu


Selasa, 10 Juli 2018


Aku baru saja menonton film drama buatan Jepang, bagus sekali. Akhir-akhir ini hampir di setiap jengkal keliling hidupku berisi drama. Jadi pikirku, untuk apa lagi menjumpainya dalam film, jika aktifitas sehari-hari sama saja sensasinya.

Sudah lama aku tidak menyempatkan waktu berziarah pada romantika cinta yang manis dan jernih. Terakhir beberapa bulan yang lalu, saat The Shape of Water buat ku herman heran dengan kisah rumit antara perempuan bisu dengan manusia ikan. Oh semesta, what the hell is this? Mungkin benar sejatinya cinta adalah esa, kita yang berbeda-beda.


Oh iya kembali lagi pada film Jepang yang ingin kuceritakan. Judulnya versi asli adalah Boku wa asu, kinou no kimi to dêto suru, kemudian dalam versi internasionalnya menjadi Tomorrow I Will Date with Yesterday's You.



Film ini sudah lama sekali ingin ku selesaikan. Namun ada saja distraksi hidup yang datang mengganggu. Satu hal yang paling ingin kubagi adalah plot dari film ini. Aku jatuh cinta dengan permainan waktu yang disuguhkan. Adegan dalam film ini buatku tergolong biasa, sinematografinya juga tidak terlalu spesial, namun kekuatan plot dan gagasan utama yang membuat sudut pandangku akan cinta semakin kaya raya.

Cerita tentang seniman muda bernama Takatoshi, pria yang jatuh cinta pada pandang pertama di sebuah stasiun kereta. Orang-orang Jepang sebagaian besar, memulai kisah asmara mereka dari kereta. Tidak mungkin gojek, tidak juga grab. Sangat template.

Sang perempuan bernama Emi Fukuju. Mereka berdua terlihat seperti pasangan muda belia standar nasional pada umumnya. Benar-benar tidak mencurigakan. Seperti relationship goals. Tapi bukan jatuh cinta namanya kalau akan menjadi biasa saja.

Takatoshi dan Emi, berasal dari ruang waktu yang berbeda. Pernah dengar tentang gosip dunia paralel? Secara teori, dunia paralel adalah dunia yang menyerupai dunia yang kita tinggali dengan segala kemiripan isinya. Sebagai gambarannya, kamu bisa melihat penampakan diri kamu saat berdiri di depan cermin. Alam jagat raya ini terdiri dari sembilan dimensi, dengan kata lain, di luar sana ada sejumlah bumi lainnya yang lengkap beserta isinya dan bergerak secara bersamaan.

Dunia paralel yang ditinggali Takatoshi dan Emi ditakdirkan bersentuhan. Ironis, mereka berinteraksi dengan alur waktu yang berlawanan. Semakin tua usia Takatoshi, maka ia akan menemukan Emi dalam usia yang lebih muda. Begitu juga sebaliknya. First date bagi Takatoshi, adalah farewell untuk Emi. Cinta mereka penuh dengan syarat. Hanya dapat bertemu lima tahun sekali dalam durasi tiap pertemuan tiga puluh hari saja.

Selamat tinggal pacaran beda agama. Ternyata kalian tuh belum ada apa-apanya.

***

Waktu selalu menjadi tema menarik. Baik buku, film atau teks yang berhubungan dengan plot yang ilusif bin khayali, akan selalu menyita perhatian dan membuatku penasaran. Sejuah ini film Interstellar-nya Christoper Nolan, novel Einstein's Dream Alan Lightman, serta lukisan The Persistence of Memory-nya Dali, masih menjadi karya tentang tema waktu yang paling favorit.

The Persistence of Memory (1931)

Monday, July 9, 2018

Aku Berpikir Maka Abakadabra

Senin, 9 Juli 2018

Aku memutuskan untuk menulis apa saja setiap hari. Segala hal yang selama ini menjadi kendala, bisa jadi karena terlalu kaya rencana namun miskin eksekusi. Salah satu penyakit hati milenial generasi four point o: merasa diciptakan sebagai spesies istimewa, namun tak lebih dari bagian kelas medioker.

Aku ingin mengubah semuanya dari pondasi yang paling dasar. Pertama-tama, sudut pandang yang perlu ditinjau kembali. Harus ku akui, fokusku selama ini terlalu deduktif. Sesuatu yang ku mau, ku buat, ku dapat harus langsung paling baik. Aku melupakan fase alami tentang karakter yang dibentuk oleh kebiasaan kecil sehari-hari. Relasinya mirip seperti arogansi remaja fresh graduate pra-menikah. Keharusan punya rumah beserta perabot IKEA lengkap di dalamnya, mobil Raffi Ahmad, serta karir muda fantastik Mr. Grey.

René Descartes pernah berkata dalam kalimatnya yang paling mashyur cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Tuan René, semua itu ku modifikasi menjadi "Aku berpikir maka aku segalanya". Seperti sebuah mantera super positif yang akan membawaku kemana saja bahkan hanya dalam tataran level pikiran.

Namun semua itu menguap. Pikiran hanya berhenti dalam benak. Tidak ada implikasi, semua hanya delusi yang esok pagi berubah jadi tahi.

Kini aku berusaha, menjaga komitmen dalam kalimat yang kupelihara untuk terdengar biasa.

"Aku berpikir, maka aku bergerak".

Sudah, itu dulu saja.