Friday, September 14, 2018

Manusia Incognito

Jum'at, 14 September 2018

Supaya menjaga dunia yang membosankan ini tetap bergairah, banyak orang berkarya. Hasilnya bisa kita temukan dalam bentuk apa saja. Lukisan, lagu, puisi, sinema, atau sekedar tugas kuliah anak pertanian yang sampulnya dijilid dengan sentuhan desain pop art Andy Warhol.

Kemudian sang dosen bertanya, "Wahai calon bapak dan ibu tani, please let me know what the hell is this?"

***

Motivasi orang berkarya ada banyak rupanya. Ada yang ingin mengabadikan keresahan, hal-hal yang mengganjal pikiran dan mimpi-mimpinya dalam sebuah instalasi seni. Ada motif eksistensi, sebuah kebutuhan untuk populer yang menjadi pemicu kuat seseorang mencipta karya. Latar belakang ekonomi - yang paling natural, banyak, namun selalu disertai penolakan hipokrit, macam-macam.

Tapi belakangan aku selalu menolak untuk terjebak di permukaan. Jika seseorang berbicara tentang karya, pertanyaanku justru tertuju kepada kedalamannya, tentang bagaimana itu semua bisa tercipta. Pengalaman seperti apa yang dialami sang artist, siapa saja orang-orang disekelilingnya, atau bahkan sebuah pertanyaan khas pengagum konspirasi yang berkolaborasi dengan akun gosip terkenal instragam - jangan-jangan itu bukan buatanya?

Karena itu mari kubisiki sebuah rahasia. Besarku menaruh curiga, banyak pengaku karya dimana-mana.

***

Jika kalian pernah membaca The Ghost Writer, atau menonton The Prestige, gagasan utamanya mengangkat tema tentang karya yang diakusisi oleh orang lain. Relasinya mirip dengan tugas kuliah yang dipinjam teman dengan alasan pembanding, diedit nama dan NPM-nya, dikumpulkan duluan. Percayalah, kategori teman-teman seperti mereka adalah golongan manusia yang sering diceritakan dalam kisah-kisah klasik kitab suci: azab pedih menyiksa tanpa harus menunggu tua.

Kuambil contoh dalam film The Prestige. Entah ada angin apa, aku selalu menaruh yakin pada sudut pandang yang diambil sang sutradara Christoper Nolan. Di situ ada salah satu penggambaran tentang Thomas Alva Edison - kita semua sepertinya tahu, penemu mahsyur yang mempunyai reputasi adiluhung. Sementara di sisi lain adalagi ilmuwan indie yang tidak terlalu ngetop namun di film itu memiliki mukjizat bakat alami, Nikola Tesla. Mereka berdua dikabarkan berkompetisi menemukan listrik terbaik untuk digunakan masyarakat pada saat itu.

Lalu sebuah tren umum muncul semanjak film ini, Nikola Tesla menempati posisi yang lebih tinggi, dan jawaban yang diberikan rata-rata tak jauh dari...

“Tesla adalah sang jenius, sementara Edison itu jahat – si pencuri ide Tesla”.

Nikola Tesla adalah ilmuwan hebat, ya, pada akhirnya aku sepakat. Memang dia sangat hebat. Dia seorang jenius gila yang sayangnya kurang mendapat pujian yang pantas dari dunia.

***

Seketika perlahan-lahan aku memiliki perasaan deja vu, ketika bertemu dan mendalami sosok Tan Malaka dalam konteks Indonesia. Seseorang yang bekerja dalam diam, namun memiliki dampak yang tidak sembarangan. Ada banyak sekali kemudian orang-orang yang menurutku pantas mendapatkan apresiasi atas pencapaian talk less do more seperti ini.

Tapi untuk jiwa-jiwa sehangat itu, aku percaya, apresiasi hanyalah sebuah kenikmatan yang semu. Ada kesenangan lain yang lebih dari sekedar menjadi pujaan. Ketika sebuah karya dan pemikiran bertemu takdirnya dengan kemajuan peradaban, hal ini jauh lebih menggetarkan. Melihat dari jauh, diwakili dengan perasaan bersyukur bahwa sudah lebih unggul, namun bertahan pada sikap menahan diri untuk tidak menjadi pemenang.


Mentalitas seperti ini aku yakin berada di tataran level yang lain.

Mentalitas yang mari kita sebut saja dengan julukan manusia-manusia incognito.