Sunday, July 26, 2015

Tulip Fever

Gua kembali kepada kebiasaan lama gua yakni rutin membaca. Dengan membaca gua merasa menjadi sahabat orang-orang hebat, mendaki kelas sosial, naik pangkat. Harusnya memang seperti itu, suatu waktu pernah ayah dari kerabat dekat berpesan, "Waktu Om seusia kamu, Om harus baca buku apapun minimal tiga puluh halaman". Tanpa mengurangi rasa hormat, beliau tidak muda pada zaman dimana sumber ilmu pengetahuan adalah twitter, path dan instagram. Membaca buku adalah kegiatan kaum minor, tidak cool, cupu abis. Sebaliknya, aktualitas diukur dengan informasi yang didapat dari facebook. Semua propaganda tanpa tanggung jawab yang ditulis disana adalah kebenaran, undang-undang dasar, wajib diimani, cool banget, gaul mampus.

Rutinitas membaca buku harus mengalami pelonjakan fluktuasi. Setidaknya gua nggak mau terjebak dalam generasi dimana semua ketidakberesan yang menimpa hidup lo terus dibebankan kepada Amerika, Yahudi, atau iluminati.

"Ini semua bukan salah kamu, salah aku, atau salah keadaan. Ini adalah konspirasi gerakan zionis. Aku sayang kamu,  please aku mau kita balikan".

Seketika sang pria ditembak rudal nuklir Korea Utara.

***
Kebiasaan membaca selalu berbanding lurus dengan kegemaran menilai. Seorang yang membaca buku sampai habis lantas beropini, pembaca buku setengah biasanya sangat yakin di awal tapi selalu berakhir di kata 'mungkin',  mereka yang membaca  buku pinjaman banyak tahu tapi tidak cerewet, dan kategori terakhir, kelompok marabahaya, menilai dari sampul dan daftar isi lalu bergosip eintertainment. Ditutup dengan  tawa palsu renyah, kwkwkw.

Gua memutuskan untuk beropini dan menilai di jalan yang halal, situs rating. Dalam dunia perbukuan ada sebuah laman ternama yaitu goodreads.com tempat pecinta buku seluruh dunia berbagi ulasan, kritik maupun rekomendasi. Dalam laman itu juga terdapat fasilitas pemberian rating, juga deteksi pintar tentang judul buku lain yang cocok dengan selera kita.

 
Dari situs ini gua mendapatkan satu rekomendasi buku menarik, ditulis oleh penulis Britania Raya Deborah Moggach, berjudul Tulip Fever.

***

Tulip Fever adalah sebuah cerita tentang seni, kecantikan, gairah, ketamakan, muslihat, dan balas budi yang berlatarkan Belanda pada tahun 1635. Sebuah masa dimana Belanda terkena wabah tulip mania atau tulip fever.

Perekonomian Belanda tumbuh pesat dan memicu persaingan antara pecinta bunga tulip. Mereka berlomba-lomba mencari bunga tulip yang paling indah dan nggak segan-segan membayar dengan harga mahal untuk membeli bunga tulip tersebut. Harga bunga tulip di Belanda semakin mahal, bahkan kabarnya ada jenis bunga tulip yang harganya sama dengan harga sebuah rumah. Tahun 1635, satu set bunga tulip yang berjumlah 40 tangkai dijual dengan harga 100.000 florin, bandingkan dengan pendapatan kalangan kelas menengah pada masa itu di Belanda yang hanya 150 florin. Tahun 1636, usaha bunga tulip menjadi salah satu bisnis yang perdagangan yang masuk dalam bursa saham dan diminati banyak orang. Kalangan pengusaha rela menjual tanah, rumah dan harta bendanya untuk berinvestasi di bisnis bunga tulip. Ironisnya, masa keemasan bisnis bunga tulip di Belanda hanya berlangsung setahun, karena pada tahun 1637 pasar bunga tulip jatuh dan harga bunga tulip ikut melorot.

Sampai hari ini, istilah "tulip mania" atau "tulipomania" atau "kegilaan tulip" masih digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan goncangnya perekonomian karena munculnya spekulan terhadap sesuatu trend bisnis yang sifatnya untung-untungan. Jika saja ahli sejarah jeli, fenomena ini sudah ada sejak lama menimpa Indonesia. Dunia akan sangat sepakat, gua rasa, dengan gejala sosial yang lebih sinting dari sekedar kegilaan akan sebuah bunga. Namanya gemstone fever, atau sebut saja akikmania.


Akikmania tidak hanya menggoncangkan perekonomian, tapi juga mencederai akal sehat, keretakan rumah tangga, dan menyebabkan banyak suami harus kedinginan tidur di sofa.

***
 
Di samping setting yang menarik, ide cerita dalam buku ini yang membuat gua harus membacanya, at least once in a life even just for a while. Tentang seorang kaya raya asal negeri Belanda bernama Cornelis Sandvoort, yang ingin mengabadikan semua kemahsyurannya dalam sebuah lukisan megah bersama sang istri cantik, Sophia.

Sandvoort lantas menyewa jasa pelukis muda bernama Jan van Loos. Gua curiga kalau Jan van Loos adalah kakek moyang dari Jack Dawson, karena kisah dua casanova melarat ini relatif mirip, seorang pelukis muda yang diam-diam jatuh cinta kepada perempuan yang dilukisnya.

Dari sini dimulai, sebuah epik cinta terlambat karena keadaan keduanya yang tidak memungkinkan. Kalau boleh gua kutip, sebuah tweet singkat dari Mbah Jiwo Tejo tentang deskripsi cinta rumit yang ternyata sudah ada sejak zaman Ramayana,

"Tuhan! Bila cintaku kepada Sinta terlarang, mengapa Kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku?"

Sebuah statemen tegas dari Rahvana yang cintanya kepada Sinta keduluan Rama.

***

Beberapa waktu lalu gua berkunjung ke kantor kedutaan Kerajaan Belanda. Sepertinya gua terkena tulip fever dalam definisi yang gua buat sendiri. Sebuah gairah akan hasrat memiliki tulip dalam bentuk yang lain, bantuan dana pendidikan. 
  
http://possore.com/cms/assets/uploads/2014/12/poster-Tulip-scholarship.jpg
Untuk kemudian memetik tulip sungguhan yang sudah lama gua kagumi, dari dulu.