Thursday, March 26, 2015

Finally We Know that Creativity Is Great

“Creativity is the power to connect the seemingly unconnected.” – William Plomer

***

Cuaca London sedang dingin sekali. Tapi janji untuk bertemu orang ini tidak bisa tidak untuk ditepati. Sengaja kuambil kerja lembur beberapa hari yang lalu, supaya dapat jatah libur di hari ini. Sambil menunggu, ditemani segala macam hiruk-pikuk yang membaur, seperti yang sudah-sudah, London dipenuhi dengan orang-orang yang berseberangan dengan kenyataan. Hari ini bersitegang dengan kebijakan pemerintah tentang fasilitas publik, besok menantang Tuhan karena bosan dengan cuaca yang dinginnya menusuk rusuk. Apapun peradabannya, semua orang di dunia jadi terlihat sama saja.

Semoga memang benar sama saja. Karena yang akan kutemui hari ini adalah orang yang tak ingin satupun darinya kulihat berubah.

“Hai apa kabar? Ya ampun jenggot sama kumis kamu makin lebat ya.”

“Baik. Selalu baik. Haha, iya nih nggak sempet cukur. Kamu lama di London?”

“Cuma tiga hari. Makannya mepet banget kan. Eh kita kemana nih?”

“Naik kereta. Ini kereta kita. Let’s jump in.”

***
  
“Gila ya. Aku nggak pernah nyangka bisa nyusul kamu ke Inggris. Sekarang lihat, kita di kereta, berdua, dari London di perjalanan mau ke York!” Ternyata memang masih seperti dulu. Wajahnya dingin, tapi mulutnya selalu bawel.


“Haha iya. Kok bisa sih? Aku aja kaget dengernya. Terus kenapa pilih York coba? Orang Indonesia, pertama kesini paling ngebet ke Bigben, Buckhingham, Tussauds…”

“Kan perginya sama kamu. Hehe, jadi aku pilih jalan-jalannya yang agak ngaco. Males aku, nanti dikatain anak mainstream kekinian. Tempat yang kamu sebutin aku tetap mampir, cuma paling sama orang kantor.” Sindirannya, selalu sama. Dari dulu ia tak henti mengajakku untuk berselera normal, seperti orang kebanyakan. Mungkin kali ini ia lelah.

“Coba ceritain, holiday in the middle of working day? Nggak ngantor? Ambil cuti, apa gimana?” Penasaran. Pertanyaanku dari tadi, belum dia jawab.

“Oh ya aku belum cerita.  Jadi gini, selama bertahun-tahun kerja, Pak Sus bos aku di kantor, nawarin semacam achievement award buat aku, jalan-jalan, terserah kemana aja katanya.” Sambil senyum, pertanyaanku dijawab. Akhirnya.

“Pak Sus bos kamu yang ganjen itu? Terus…?”

“Aku pikir dulu gitu. Tapi ternyata dia nggak ganjen, malah rumpi abis. Cucok rempong, sumpah, demi apapun. Nah terus aku pilih London. Eh kata Pak Sus apa coba? Yaudah sekalian kebetulan kita dapat undangan, ada seminar bank sedunia. Itu mah sama aja aku kerja kan? Kezel.” Benar-benar masih seperti dulu. Aksen gaulnya, selalu tidak pas saja diterima standar selera yang kubangun.

“Pakai mantel sama sarung tangan kamu, sebentar lagi kita sampai. Di luar pasti dingin banget.”

***

Dua jam perjalanan kereta dari London. Kita berdua sampai di York. Suhu udara di sana menyentuh celcius di derajat kedua, bukan suhu yang sempurna untuk berjalan-jalan, tapi entah mengapa bersamanya menjadi lebih hangat. York adalah kota yang disusun atas objek wisata yang letaknya saling berdekatan. Bentuk kotanya terkotak-kotak, menjadi saksi jutaan sejarah Inggris.  Ditemukan oleh bangsa Roma pada tahun 71 SM, York merepresentasikan orang tua bijak yang bersahabat.


“Mau naik ini?” Kutawarkan padanya, bianglala raksasa York Wheel.

“Apaan sih kamu, di Dufan juga ada. Kita jalan aja yuk, aku mau lihat York City Walls. Katanya bagus.” Semangat, dia menarik tanganku.

Dengannya aku susuri York City Walls. Dulu tembok ini bertugas untuk melindungi warga dari perang, zaman bergeser,  tembok direnovasi, dijadikan jalan penghubung bagi warga.

“Eh bedanya York sama Yorkshire itu apa? Aku agak bingung daritadi.” Kali ini ia bertanya, masih menggenggamku.

“Yorkshire kotanya, kalau York itu county-nya. Kalau di Indonesia, semacam provinsi. Nah sekarang kita ada di Yorkshire.” Jelasku. Semoga memang benar-benar jelas.
 
“Aku salut sama bangunan-bangunan disini, klasik, kelihataannya udah lama banget, tapi kuat ya?”

“Buatnya niat. Orang Inggris percaya proses, bikinnya nggak sebentar, tapi coba lihat hasilnya. Everlasting, right?

“Nyindir aja teruuus..” Tiba-tiba dia menyela.

“Nyindir siapa?”  Tanyaku lagi heran.

“Aku lah. Nggak pernah sabar, nggak tahan jalanin proses…”

“Kamu ya yang ngomong? Bukan aku, haha…”

“Aku baca Lonely Planet yang Discover the Great Britain. Tahu nggak apa yang jadi sampulnya, York Minster. Itu beneran di York kan? Kesana yuk.” Pelan tapi pasti dia alihkan pembicaraan. Kelihaian ngelesnya sama sekali tidak berkurang.

“Takutnya nggak keburu. Disini jam empat atau jam lima toko-toko tutup. Gimana?”
“Mmh, yaudah deh. Terus kemana?”

How about afternoon tea? Ke Inggris nggak minum teh rugi. Gimana?”

Ooh lovely.”




***


Bangunannya luas, berlantai tiga, berwarna putih bersih dengan aksen abu-abu pada pilarnya. Tulisan Bettys Café Tea Room diukir sangat indah dengan cat emas. Estetika yang sempurna untuk sebuah tempat pertemuan yang ditunggu-tunggu.


 










 








 
 









 































































 










 



Secangkir teh sepertinya tidak bisa menenangkan kita berdua. Masa lalu memang seperti itu, selalu bikin naik darah.
















 








 
 
























***


Seminggu semenjak kepulangannya, aku email tentang kabar ini padanya.



To: Ellice_20@mail.com
Cc:
Judul:  Balik ke Inggris lagi, yuk?




Kamu kemarin nggak jadi kesini kan? Tujuh hari lagi aku pulang ke Indoesia, dengan sejuta sangat, boleh aku main ke rumah lagi? Alamat kamu masih yang lama kan? Aku harap rumah kamu belum ganti, jadi aku pikir masih muat buat kedatangan aku, sama keluarga besar juga.

Nanti kita balik ke Inggris lagi, aku sama kamu, dalam status di KTP yang suda beda. Aku sama kamu, nggak lajang lagi, barangkali?


***


Cerita fiksi ini diikutsertakan dalam Creativity is GREAT Competition yang diselenggarakan oleh @UKinIndonesia dan @fantasiousID

Karakter favorit di Game of Thrones beserta alasannya :
Petyr Baelish, karakter ini adalah jenius super sejati. Dibalik semua sikapnya, obsesi pada Catelyn Stark membuatnya sebagai flamboyan kejam yang masih punya cinta. Orang jahat, juga berhak punya cinta, bukan?