“Creativity is
the power to connect the seemingly unconnected.” – William Plomer
Cuaca London sedang dingin sekali. Tapi janji untuk bertemu orang ini tidak bisa tidak untuk ditepati. Sengaja kuambil kerja lembur beberapa hari yang lalu, supaya dapat jatah libur di hari ini. Sambil menunggu, ditemani segala macam hiruk-pikuk yang membaur, seperti yang sudah-sudah, London dipenuhi dengan orang-orang yang berseberangan dengan kenyataan. Hari ini bersitegang dengan kebijakan pemerintah tentang fasilitas publik, besok menantang Tuhan karena bosan dengan cuaca yang dinginnya menusuk rusuk. Apapun peradabannya, semua orang di dunia jadi terlihat sama saja.
***
Cuaca London sedang dingin sekali. Tapi janji untuk bertemu orang ini tidak bisa tidak untuk ditepati. Sengaja kuambil kerja lembur beberapa hari yang lalu, supaya dapat jatah libur di hari ini. Sambil menunggu, ditemani segala macam hiruk-pikuk yang membaur, seperti yang sudah-sudah, London dipenuhi dengan orang-orang yang berseberangan dengan kenyataan. Hari ini bersitegang dengan kebijakan pemerintah tentang fasilitas publik, besok menantang Tuhan karena bosan dengan cuaca yang dinginnya menusuk rusuk. Apapun peradabannya, semua orang di dunia jadi terlihat sama saja.
Semoga memang
benar sama saja. Karena yang akan kutemui hari ini adalah orang yang tak ingin satupun
darinya kulihat berubah.
“Hai apa kabar?
Ya ampun jenggot sama kumis kamu makin lebat ya.”
“Baik. Selalu
baik. Haha, iya nih nggak sempet
cukur. Kamu lama di London?”
“Cuma tiga hari.
Makannya mepet banget kan. Eh kita
kemana nih?”
“Naik kereta. Ini kereta kita. Let’s jump in.”
***
“Gila ya. Aku nggak pernah nyangka bisa nyusul kamu ke
Inggris. Sekarang lihat, kita di kereta, berdua, dari London di perjalanan mau
ke York!” Ternyata memang masih seperti dulu. Wajahnya dingin, tapi mulutnya selalu
bawel.
“Haha iya. Kok
bisa sih? Aku aja kaget dengernya.
Terus kenapa pilih York coba? Orang Indonesia, pertama kesini paling ngebet ke Bigben, Buckhingham,
Tussauds…”
“Kan perginya
sama kamu. Hehe, jadi aku pilih jalan-jalannya yang agak ngaco. Males aku, nanti dikatain anak mainstream kekinian. Tempat yang kamu sebutin aku tetap mampir,
cuma paling sama orang kantor.” Sindirannya, selalu sama. Dari dulu ia tak
henti mengajakku untuk berselera normal, seperti orang kebanyakan. Mungkin kali
ini ia lelah.
“Coba ceritain, holiday in the middle of working day? Nggak ngantor? Ambil cuti, apa gimana?”
Penasaran. Pertanyaanku dari tadi, belum dia jawab.
“Oh ya aku belum
cerita. Jadi gini, selama bertahun-tahun
kerja, Pak Sus bos aku di kantor, nawarin semacam achievement award buat aku, jalan-jalan, terserah kemana aja
katanya.” Sambil senyum, pertanyaanku dijawab. Akhirnya.
“Pak Sus bos
kamu yang ganjen itu? Terus…?”
“Aku pikir dulu
gitu. Tapi ternyata dia nggak ganjen,
malah rumpi abis. Cucok rempong, sumpah,
demi apapun. Nah terus aku pilih London. Eh kata Pak Sus apa coba? Yaudah
sekalian kebetulan kita dapat undangan, ada seminar bank sedunia. Itu mah sama
aja aku kerja kan? Kezel.”
Benar-benar masih seperti dulu. Aksen gaulnya, selalu tidak pas saja diterima
standar selera yang kubangun.
“Pakai mantel
sama sarung tangan kamu, sebentar lagi kita sampai. Di luar pasti dingin banget.”
***
Dua jam
perjalanan kereta dari London. Kita berdua sampai di York. Suhu udara di sana
menyentuh celcius di derajat kedua, bukan suhu yang sempurna untuk
berjalan-jalan, tapi entah mengapa bersamanya menjadi lebih hangat. York adalah
kota yang disusun atas objek wisata yang letaknya saling berdekatan. Bentuk
kotanya terkotak-kotak, menjadi saksi jutaan sejarah Inggris. Ditemukan oleh bangsa Roma pada tahun 71 SM,
York merepresentasikan orang tua bijak yang bersahabat.
“Apaan sih kamu,
di Dufan juga ada. Kita jalan aja yuk, aku mau lihat York City Walls. Katanya
bagus.” Semangat, dia menarik tanganku.
Dengannya aku
susuri York City Walls. Dulu tembok ini bertugas untuk melindungi warga dari perang,
zaman bergeser, tembok direnovasi,
dijadikan jalan penghubung bagi warga.
“Eh bedanya York
sama Yorkshire itu apa? Aku agak bingung daritadi.” Kali ini ia bertanya, masih
menggenggamku.
“Yorkshire
kotanya, kalau York itu county-nya.
Kalau di Indonesia, semacam provinsi. Nah sekarang kita ada di Yorkshire.”
Jelasku. Semoga memang benar-benar jelas.
“Aku salut sama
bangunan-bangunan disini, klasik, kelihataannya udah lama banget, tapi kuat ya?”
“Buatnya niat.
Orang Inggris percaya proses, bikinnya nggak
sebentar, tapi coba lihat hasilnya. Everlasting,
right?”
“Nyindir aja
teruuus..” Tiba-tiba dia menyela.
“Nyindir
siapa?” Tanyaku lagi heran.
“Aku lah. Nggak pernah sabar, nggak tahan jalanin proses…”
“Kamu ya yang
ngomong? Bukan aku, haha…”
“Aku baca Lonely Planet yang Discover the Great Britain. Tahu nggak apa yang jadi sampulnya, York Minster. Itu beneran di York
kan? Kesana yuk.” Pelan tapi pasti dia alihkan pembicaraan. Kelihaian ngelesnya sama sekali tidak berkurang.
“Takutnya nggak keburu. Disini jam empat atau jam
lima toko-toko tutup. Gimana?”
“Mmh, yaudah
deh. Terus kemana?”
“How about afternoon tea? Ke Inggris nggak minum teh rugi. Gimana?”
***
Bangunannya luas, berlantai tiga, berwarna putih bersih dengan aksen abu-abu pada pilarnya. Tulisan Bettys Café Tea Room diukir sangat indah dengan cat emas. Estetika yang sempurna untuk sebuah tempat pertemuan yang ditunggu-tunggu.
Secangkir teh sepertinya tidak bisa menenangkan kita berdua. Masa lalu memang seperti itu, selalu bikin naik darah.
***
Seminggu semenjak
kepulangannya, aku email tentang kabar ini padanya.
To: Ellice_20@mail.com
Cc:
Judul: Balik ke Inggris lagi, yuk?
Kamu kemarin nggak jadi kesini kan? Tujuh hari lagi aku pulang ke Indoesia, dengan sejuta sangat, boleh aku main ke rumah lagi? Alamat kamu masih yang lama kan? Aku harap rumah kamu belum ganti, jadi aku pikir masih muat buat kedatangan aku, sama keluarga besar juga.
Nanti kita balik ke Inggris lagi, aku sama kamu, dalam status di KTP yang suda beda. Aku sama kamu, nggak lajang lagi, barangkali?
***
Cerita fiksi ini diikutsertakan dalam Creativity is GREAT Competition yang diselenggarakan oleh @UKinIndonesia dan @fantasiousID
Petyr Baelish, karakter ini adalah jenius super sejati. Dibalik semua sikapnya, obsesi pada Catelyn Stark membuatnya sebagai flamboyan kejam yang masih punya cinta. Orang jahat, juga berhak punya cinta, bukan?