Tuesday, January 5, 2010

Sebuah Kontroversi yang Bernama Poligami

Gua habis nonton film berbagi suami. Telat banget emang, tapi nggak apa-apa. Daripada nggak sama sekali. Soalnya dari dulu mau nonton ni film, selalu ada aja halangannya, jadi lupa terus mau nonton. Sampai ketika gua baca buku lama dari koleksi buku-buku om gua, yang judulnya ‘POLYGAMI’. Langsung gua catet di handphone, terus besoknya gua download di kampus. Gua tonton, gua terhibur, terinspirasi (karena filmnya menurut gua ‘awesome’ banget), dan gua jadi punya sebuah prespektif baru tentang poligami.

Sama seperti film-film Nia Dinata kebanyakan, tema yang diambil dari Berbagi Suami adalah sebuah pesan tentang banyaknya ketidakadilan yang dialami oleh seorang wanita, dalam hal apa saja. Termasuk takdir. Gua melihat gimana dia menceritakan tentang wanita-wanita yang seolah-olah menjadi korban dalam praktek poligami, berikut dengan detail-detail situasinya, yang mana membuat sang pria terlihat jahat sekali.

***

Poligami udah jadi makanan sehari-hari buat gua. Di lingkungan gua tinggal, kegiatan berumah tangga dengan istri lebih dari satu ini sudah sangat sering gua liat. Biasanya para pelakunya ya orang-orang asli situ. Dengan modal tanah yang banyak, mereka dengan giat mempersunting para pendatang. Gadis-gadis dari desa molek bahenol yang belum mafhum dengan liku-liku kehidupan kota mereka tipu daya dengan pesona yang menurut gua ala kadarnya, malah cenderung nggak ada apa-apanya. Entah berkaitan dengan faktor gen, atau fakor psikolgi yang mungkin membuat mereka berpikir ‘ah lo aja bisa masa gua kagak’, tapi yang pasti gua selalu melihat bawa poligami memang membawa kesengsaraan bagi sang istri-istri.

Gimana nggak, sekarang kita lihat aja contohnya. Kalo sang polygamer (suami yang melakukan poligami. Nggak tau bener apa nggak, gua ngasal soalnya, hehe..) bener-bener juragan tanah, mereka akan dengan sangat royal bagi rumah satu-satu ke istri-istri mereka. Selanjutnya dilakukan pembagian waktu, kapan saja sang suami yang sakti mandraguna ini berhak berapa lama ia tinggal dalam satu rumah. Biasanya hitungannya berapa hari dalam seminggu.

Itu kalo tajir. Kalo ‘poor polygamer’ beda lagi. Mereka, akan mengumpulkan ‘bini-bininya’ itu langsung dalam satu rumah. Metode ini memang terlihat mudah, dan sangat simple. Tapi sebernya cara inilah yang paling banyak membutuhkan kemampuan manajerial tingkat tinggi. Hanya womanizer kelas wahid saja yang bisa menunaikannya. Kadang memang keterbatasan dana, harus diimbangi dengan kreatifitas dan inovasi. Itu hukum alam, hukum pasti.

Sekarang kita lihat efek dari kedua cara diatas.

Poligamer kaya : Pindah dari rumah satu kerumah yang lainnya akan membuat stamina sang suami terkuras. Hidup jadi berantakan, ke kantor akan selalu ribet karena bingung baju serta keperluannya ditaruh dirumah istri yang mana. Sangat riskan. Karena istri yang sedang kebagian jatah ditinggal, merasa kesepian dan amat memungkinkan timbulnya perselingkuhan.

Poligamer miskin : Rumah akan penuh, sesak oleh anak-anak dan sakit hati tingkat tinggi dari istri-istri karena melihat orang yang paling dicintainya membagi-bagi cinta itu sendiri, di depan mata langsung. Sangat rentan akan konflik, membuat suami berkesampatan divonis oleh dokter yang paling mendingnya adalah gangguan telinga. Sedangkan paling parahnya, kematian karena gangguan telinga stadium lima.


Sebetulnya sudah banyak contoh-contoh efek buruk poligami. Namun pemikiran sesaat, dan desakan memuncak hasrat kadang membuat semuanya itu jadi terlihat akan mudah dijalaninya. Memang banyak hal yang membuat, poligami itu terlihat seperti sebuah jalur yang memang diciptakan khusus untuk semua laki-laki. Contoh kecilnya, waktu itu gua BBQ. Jadi temanya adalah pernikahan dalam Islam. Tutor gua yang bijak bestari menjelaskan,
“Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakuakan dalam persenggamaan. Salah satunya adalah memasukan melalui dubur. Dalam prakteknya, banyak suami yang merasa bosan dengan memasukan dari itu saja. Maka dia berusaha mencari variasi, memasukan melalui media yang lain, termasuk dubur. Sedang Islam melarang keras itu, maka jalan keluarnya, dipersilahkan poligami…”

Gua bengong waktu tutor gua menyampaikan risalah itu. Menurut gua, ih waw! Gampang banget alasan ini dijadikan oleh oknum-oknum yang ga bisa adil untuk bisa terus punya banyak istri. Emang syarat utamanya sih yang penting bisa adil. Tapi kalau gua pribadi, berangapan nggak akan pernah ada manusia, yang bisa adil. Seadil Nabi Muhammad, membagi cinta pada istri-istrinya.

Ciuman Terakhir

“Ia tak pernah sekalipun menyerah. Ibuku adalah pahlawanku…” (Kimberly A.B)

26 Desember 2006

Gua akan selalu inget banget dengan tanggal itu. Itulah tanggal dimana untuk terakhir kalinya, gua melihat secara langsung, wajah wanita yang melahirkan gua. Wanita terhebat yang keberadaannya nggak akan tergantikan. Wanita yang untuknyalah gua rela melakukan apa aja, wanita yang kerap gua panggil, ibu…

Kini ia terbujur kaku. Lemas tak sehebat dulu. Kain serba putih itu membalut seluruh jasadnya, keadaan hening dengan isakan dan teriakan orang-orang yang ditahahan sekuat tenaga. Seorang pria setengah baya mempersilahkan gua untuk melihat lebih mendekat, dan samar-samar gua dengar “Silahkan Mas, lihat wajah Alm. Ibu untuk terakakhir kalinya.”

Gua merapat, kini jelas terlihat wajah yang selalu tersenyum setiap gua berhasil membanggakan hatinya itu. Gua tatap dalam-dalam, nampak kelelahan dalam cekung bola matanya. Rasa bersalah telah menyia-nyiakan kebersamannya yang singkat berkelebat hebat. Hati ini wanita ini, terlalu sering gua sakiti. Belum sempat ia melihat gua berdiri dalam gelimang kesuksesan, berkata kepada orang-orang bahwa berkat jasa ia lah gua bisa mencapai semua itu. Izrail hadir terlalu cepat menunaikan tugas. Jantung itu, perlahan mengerogotinya, pelan-pelan dari dalam. Penyesalan mengganda, karena gua nggak ada disamping dia. Saat syahadat berusaha ia ucapkan dalam tarikan napas-napas terakhirnya. Tapi gua ingat, ada satu hal yang buat gua jadi tersenyum sendiri. Setidaknya sebelum kepergiannya, gua tinggalkan satu ciuman di keningnya. Ciuman pertama dan terakhir.

***

Ibu adalah segala-galanya. Harta karun yang paling tersayang, bulan purnama dalam hidup gua. Memisahkan kita berdua adalah sia-sia, seperti Pharaoh yang hendak ikut-ikutan Nabi Musa, berusaha membelah laut merah jadi dua. Jika ditinggal sebentar gua akan panic at the disco. Bahkan saking parahnya, sampai kelas satu SMA gua sarapan masih sambil disuapin. Biar cepet, sekalian gua make sepatu. Disaat suapan terakhirnya gua selalu ingat, dia akan bilang “Belajar kamu yang bener !” Mmh, jika ingat masa-masa itu, sebesar apapun gua nanti, nggak perduli walau udah punya anak istri, jika Ibu masih ada, nggak akan pernah ragu gua untuk minta disuapin setiap hari. Iya, setiap hari.

Seerat itulah memang kita berdua. Membuatnya bangga adalah hal-hal yang paling gua suka. Prestasi akademik adalah sedikit contohnya. Banyak tetangga sering nanya, gimana ngedidik anak biar bisa pinter kaya, ehm… (kerendahan hati buat gua enggan meneruskan kalimat ini). “Ya biasa aja kok Bu. Yang penting anak dibebasin aja, liatin maunya apa. Saya nggak pernah nyuruh-nyuruh mereka belajar kok.” Kalimat terakhirnya diberangi dengan tatapan wajah kea rah gua. Tersenyum, dia kembali tersenyum. Ibu, tahukah senyum apa yang paling dahsyat dari senyum Monalisa? Iya benar, itu senyummu. Jika Da Vinci tahu senyummu itu, dia pasti lebih memilih untuk melukismu, menjadikannya sebagai master piece, kemudian dibingkai dalam dinding agung Louvre. Setelah selesai ia tersenyum, ia akan menghampiri gua. Berusaha mencium anak yang sudah membesarkan hatinya, di depan orang banyak. Tapi gua nggak mau, selalu nggak mau.

Pernah juga dia coba mengomentari salah satu hobi gua. “Kalau main bola kamu nggak usah ikut lari-larian kenapa? Jadi apa itu namanya? Oh iya, jadi kipper aja. Diem duduk di gawang, enak…!” Haha, begitu polos wanita ini bicara.
“Bu, aku nggak mau jadi kipper. Nggak bisa nyetak gol banyak.” Gua jawab dengan jawaban yang sederhana. Jika habis bertanding di lapangan depan ruamh tiap sore di akhir pekan, Ibu diam-diam melihat. Kadang kalau gua kalah dalam sebuah pertandingan yang penting, gua nangis. Tidak banyak yang dia perbuat, hannya mengeluarkan kata-kata sakti mandragunanya. “Kalau nggak sakit, anak cowok nggak boleh nangis.” Kakak dan adik-adik gua, gua yakin mereka hapal sekali dengan petuah bijak Ibu yang satu itu. Iya, Ibu selalu bilang itu. Jika kami, keempat pejantannya mengeluarkan air mata. Namun lain halnya jika gua menang. Dielu-elukan warga sekitar karena berandil besar dalamnya. Pulang kerumah, ibu dengan biasa berusaha mencium gua. Tapi gua nggak mau, tetep nggak mau.

Akhir-akhir itu kesehatan Ibu menurun drastis. Yang gua sesalkan, ia nggak pernah mau bilang, perihal kesakitan yang dideritnnya. Badannya perlahan-lahan mengurus, dan masa-masa pubertas yang menghampiri gua, buat gua jadi ga menyadarinya. Tau-tau waktu diantar kakak gua ke periksa ke dokter, Ibu divonis mengalami penipisan katup jantung. Gua cuma bisa tersentak, khawatir kalau-kalau ini adalah penyakit yang bahaya. Tapi seperti biasa, ia tidak mau membuat gelisah anak-anaknya. Ia selalu berkata nggak apa-apa. Padahal dalam tidurnya jelas sekali gua lihat napasnya tesengal-sengal. Melihat dia seperti itu, gua nggak tega. Perih…

Ibu memutuskan berobat jalan. Tapi penyakitnya tak juga kunjung membaik. Sampai pada akhirnya ia memtuskan untuk dibawa ke Jawa, ke rumah Mbah Putri. Ia bilang ingin mencoba pengobatan alteratif disana, lagipula udaranya juga masih bersih. Mungkin akan mempercepat proses penyembuhannya. Berat bagi gua untuk berpisah darinya, berat sekali. Tapi gua harus berkorban, untuk kesembuhannya.

Sebelum dia pergi, entah ada perasaan apa yang menggelayut dalam pikiran gua. Perasaan ini lebih dari sekedar perasaan ditinggalkan. Ini adalah perasaan merasa akan kehilangan. Tapi nggak, gua tepis jauh-jauh prasangaka nggak bener itu. Ibu akan sembuh disana, akan berkumpul bersama gua lagi, menyaksikan gua tumbuh dewasa, membuatnya ia bangga sampai mau meledak dadanya. Tapi nggak tau kenapa, lagi-lagi perasaan itu muncul lagi. Tanpa diperintah oleh siapa-siapa gua peluk dia erat-erat. Kali ini dia nggak coba untuk mencium gua, karena mungkin tau gua nggak akan mau. Tapi sisa-sisa sinar matanya, buat gua mencium kedua pipinya, mengecup kening yang sudah nampak menuanya, tes-tes… Air matanya, bercampur dengan air mata gua.

***

Kini gua berdiri dalam peristirahatan terakhirnya. Gua dapet telfon dari tante gua, sambil nangis-nangis dia bilang Ibu udah nggak ada. Well, gua terima. Semua manusia akan meninggal, semuanya termasuk manusia selembut Ibu. Dari Jakarta kita semua sekeluarga romobongan pulang ke Jawa. Untuk sekedar, mengantarkaknnya dalam istirahat kekal. Bunga-bunga itu gua taburkan di gundukan tanah yang di nisannya ada tulisan nama dia. Di atas pusaranya gua memekikan satu janji, gua akan sekolah setinggi-tingginya, menjadi orang yang berpenagaruh untuk kemaslahatan umat banyak. Nanti akan gua katakan ke semua orang di seluruh dunia, bahwa dibalik ini semua, ada wanita luar biasa yang membuat gua jadi merasa menjadi anak paling beruntung di seluruh dunia, karena memliki Ibu, sehebat dia.

***

Tulisan ini, gua dedikasikan untuk kalian anak-anak yang merasa memeliki Ibu sehebat Ibu gua. Ciumlah Ibu-ibu yang kalian anggap hebat itu, ciumlah mereka sekarang juga! Bukan menakut-nakuti, tapi bisa saja itu adalah ciuman terakhir kalian semua padanya.

Pendidikan : Harga Mati Sebuah Harga Diri

Dari dulu gua udah percaya, bahwa untuk merubah nasib seorang manusia, yang dibutuhkan hanyalah ilmu yang banyak. Dan untuk meraihnya, cuma dengan melalui jalur yang bernama pendidikanlah itu semua bisa tercapai. Kepercayaan itu kini berubaha menjadi sebuah keyakinan, bahwa sekolah setinggi-tingginya akan buat lo bahagia. Dunia akhirat…

***

Flash back sebentar, dulu ke masa dimana gua masih mengenyam bangku Sekolah Dasar. Di SD Negeri Margahayu 23, kalian semua akan menemukan seorang anak, dengan nama Indra Julianta, sedang berdebat hebat dengan sang guru mengenai penggolongan spesies hewan unik yang bernama platypus.

“Ibu guru, mamalia itu nggak ada yang bertelur. Lagian platypus itu juga nggak punya kuping. Kata ibu saya, hewan yang nggak punya kuping itu bukan mamalia…”
“Tapi Indra, di buku ini tulisannya begitu. Platypus tergolong hewan mamalia!”
“Kok bisa, emang kenapa?”
“Di buku ada! Udah ngak usah banyak nanya! Kita lanjutkan membahas reptile, ada yang tau anak-anak apa itu reptiil ?”
“Ibu guru tadi saya nanya belum dijawab ??”
“Iya benar ! Reptil adalah hewan melata… !”

Itulah gua dulu. Selalu paling cerewet, dan sok-sokan keritis. Perihal kecil, selalu ditanya sampai serinci-rincinya. Dari SD aja gua udah pandai menilai, mana guru yang kompeten, mana yang nggak. Mana guru yang emang niat ngajar, dan mana guru yang ngajar cuma karena nggak ada kerjaan lain yang bisa dikerjakan. Selain itu gua selalu menjadi orang paling semangat di kelas. Hasilnya dari kelas 1 sampai dengan kelas 6, gua selalu duduk di peringkat kedua. Iya cuma kedua. Karena sang peringkat pertama, adalah orang yang tak tergantikan. Selain rajin, ia juga cerdas. dan yang paling utama, dia anak cewek. Ibu gua sering bilang, anak cewek itu pasti lebih teliti kalau ngerjain apa-apa ketimbang anak cowok.

Mmh Ibu gua, selalu memberikan pengetehuan yang sifatnya general. Seperti perihal mamalia tadi, kalau nggak nyari tau sendiri, sampai sekarang mungkin gua akan terperangkap dalam ilmu kesesatan karena menganggap hewan yang nggak punya kuping itu bukan mamalia. Kasihan paus dan lumba-lumba, susah-susah nete’in anak-anaknya, nggak juga bikin mereka dianugerahi gelar sebagai hewan mamalia.

Beralih ke SMP, gua masuk SMP 1 Bekasi. SMP paling nomor satu di Kota Bekasi. Walaupun jauh dari rumah, tapi disini gua masih tetep semangat sekolah, masih keritis, tapi udah lemah untuk bersaing. Dikumpulin sama anak-anak yang dulu SD nya juara lomba seapa aja, bikin gua jadi ngerasa percuma lah belajar serius-serius, toh nggak akan ranking satu juga. Mentalitas seperti inilah, yang menjadi cikal bakal kemalasan-kemalasan itu. Belajar kalau ulangan doang, PR nyontek, tugas ngumpulin kalau udah deadline. Sekolah cuma mau nilai amannya aja, yang penting naik dan nggak jelek-jelek amat. Selalu nyari yang tengah-tengah, seperti sifat bangsa ini.

SMA, gua berhasil menjaga track record mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Gua masuk di SMA 4 Bekasi. SMA paling nomor empat sekota Bekasi. Buat perbandingan, jarak SMP 1 kerumah gua itu jauh. Maka kalau jarak SMA 4 kerumah gua itu adalah, jauh banget. Iya jauh banget, karena Harapan Jaya-Bulak Kapal adalah rute yang paling cepet setengah jam untuk bisa lo melaluinya. Tapi walau jarak memisahkan ‘aku dan SMA 4-ku’, semangat untuk sekolah masih meletup-letup kencang. Nilai gua lumayan, masuk IPA, dan lulus SNMPTN.

Kuliah, gua berhasil mengukuhkan hegemoni riwayat pendidikan ini dijalur yang semuanya adalah negeri. Gua diterima di Unila, Universitas yang terletak di kota Bandar Lampung. Melalui SNMPTN, ujian saringan masuk yang bikin lo ngerasa makan pun tak enak, tidur pun tiada nyenyak. Karena lo harus belajar ekstra gila-gilaan buat lulusnya. Diterima disini, itu berarti mengharuskan gua juga menerima semua tantangan yang berlaku. Pada titik inilah sebuah perjuangan menempuh pendidikan benar-benar gua rasa.

***

Gua tinggal di dirumah tante gua, di Metro. Sedangkan Unila terletak di Bandar Lampung, dan teman-temanku para pembaca yang budiman, tahukah kalian berapa jarak yang terbentang antara dua kota ini? Very good answer, jaraknya adalah 50 km. (Jarak ini diukur, berdasarkan speedometer motor Yamaha Vega R gua). Lebih banyak 10 Km dari Lintang sang Bocah Petualang. Dan itu harus gua tempuh selama satu jam lamanya, kalau pantat bisa ngomong, mungkin dia tak akan bohong. Memang gua nggak melewati itu yang namanya buaya berbadan sebesar pohon sagu, tapi rintangan gua lebih dari sekedar itu.

Lo pada pernah denger ga sob ? Tentang salah satu profesi yang bernama begal? Itu lho orang yang gemar membegal ? Yang mengincar para pengendara motor yang belaga bak jagoan karena naik motor malam-malam sendirian? Udah tau kan… Nah jarak yang gua laluinya tiap hari ini, adalah lahan basah bagi mereka untuk mencari sesuap nasi. Sori, maksud gua seunit motor. Dan mereka nggak akan pernah merasa berdosa kalau-kalau setelah ngambil motornya, orangnya diabisin juga. Bisa dibilang mati iseng. Jadi lo mati, terus pas begalnya diinterogasi dia cuma bilang, “Nggak kok cuma iseng…”

Belum lagi jalur lintas Sumatera yang banyak bolong-bolongnya, bikin gua tiap hari ngelihat kecelakaan super dahsyat yang kalo lo abis liat, mungkin akan mikir-mikir lagi bawa motor dengan gaya belagak sok Pedrossa. Can you believe it, gimana mobil avanza nyusruk rumah warga, dibelakangnya nyusruk juga truk besar bermuatan gula, dimana avanza itu yang tadinya mulus sekarang dalam keadaan penyok kaya kaleng sarden, dan disela-sela pintunya ada kaki manusia nyempil dengan hiasan darah segar. Itulah bahaya yang mengintai gua di perjalanan pulang-pergi ngampus. Tapi itu biasa. Ada hal yang lebih menakutkan lagi, yakni terancamnya asset gua yang paling berharga, muka gua. Iya, kalau begini caranya, wajah maha tampan indo blesteran Sweden-Wonogiri gua bisa rusak karena setiap hari kena debu dan kotoran yang tidak bertanggung jawab. Melajulah Brad Pitt sendirian dalam kontes cowok ter-oke sedunia, karena saingan terberatnya, gua maksudnya, udah nggak ganteng lagi.

***

Dulu gua pernah janji, sama Alm. Ibu. “Aku nanti harus jadi sarjana, gimanapun caranya.” Ibu cuma ketawa, seraya mengucap, “Iya, buktiin ke Ibu kalau kamu bisa.” Sayang, beliau cuma bisa ngeliat gua dengan gantengnya pakai baju SMA. Cuma sampai sana dia mendampingi gua. Setiap ingat akan janji itu, semangat akan kembali berlipat-lipat. Jalanan yang jauhnya berhektar-hektar jadi nggak berasa apa-apa. Sungai-sungai besar di sepanjang daerah Sukadana, yang mengandung hawa mistis tempat jin buang anak, terasa seperti perairan di Venice dengan gondola-gondolanya yang membuat hati tak sabar untuk menaiki. Dari helm gua yang warna pink ini, terlihat sebuah pemandangan indah. Terbentang luas rumput hijau dengan biri-biri lucu berkejar-kejaran, tenang dan menyegarkan hati, bak dataran rendah di kaki Pegunungan Alpen. Jembatan angker Tegineneng, tidaklah menakutkan lagi. Ia kini adalah Brooklyn Bridge, jembatan termahsyur se-Amerika. Semuanya menakjubkan, sungguh-sungguh menakjubkan.

Bagi seorang laki-laki, sebuah janji bukanlah perkara main-main. Harus ditepati, jika tidak ingin terkena bala burit sepuluh bulan. Oleh karena janji itulah, gua bertekad untuk sekolah setinggi-tingginya. Target setelah ini : S2 dengan beasiswa ke Eropa.

It's all about long distance relationship

Pacaran. Adalah sebuah proses saling mengenal antara pria dengan wanita sebelum mereka memutuskan untuk membina ular tangga. Sory, rumah tangga maksud gua. Sudah banyak orang berusaha mendefinisikan hakekat pacaran yang sebenarnya. Oleh karena itu, supaya lebih objektif, mari kita telaah arti dari pacaran, dari berbagai sudut pandang.

Pakar fisika, mengatakan : “Pacaran ialah puncak dari tumbukan benda A dengan benda B, dimana kecepatan sama dengan nol. Karena waktu, tak berlaku disini”. Sementara biologiwati (kebetulan ahli biologi yang dimintai keterangan berjenis kelamin perempuan), menjelaskan bahwa : “Pacaran adalah sebuah proses alamiah, disebabkan oleh pencarian jati diri dari protesteron pada diri pejantan, sehingga yang empunya hormon, bertingkah laku seperti artis-artis belia dalam sinetron ‘INIKAH RASANYA’”.
Akan lain hal nya jika seorang ahli fiqih yang angkat bicara. Dengan selantang-lantangnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, “Taka ada pacaran !! Yang ada hanyalah ta’arufan!!”

Yah apapun penjelasan ngaco dari pakar-pakar fiktif diatas, buat gua pribadi pacaran adalah sebuah proses maha dahsyat yang ada dalam siklus kehidupan seorang manusia, yang mana di dalam proses itulah kehidupan akan menjadi indah dengan helaan nafas penuh gairah. Bagi adik-adik yang sedang mengenyam bangku pendidkan, sekolah tak ubahnya sebuah kastil suci, tempat pangeran dan permaisuri bertukar janji. Sedang bagi orang dewasa, tempat mereka kerja adalah wahana teristimewa. Sarana yang tepat, untuk menyalurkan hasrat puber kedua.

Karena berpacaran, semuanya jadi terasa merah muda dan menyenangkan. Tapi semua itu tidak akan berlaku, jika insan-insan yang sedang dipeluk asmara, terpisah. Jauh…

***

Pada awalnya, seperti yang gua jabarin diatas. Karena pacaran, semuanya jadi kelihatan memesona. Bahkan Ginanjar, Jarot, Pasha, tiga anak SMA yang gantenganya selalu nebeng sama gua, kadang kala jadi terlihat ganteng beneran. Itu semua, ngak lebih karena faktor yang gua bilang tadi, faktor cinta.

Hari-hari gua jalanin dengan penuh ambisi dan birahi. Sekolah, untuk saat itu adalah hal yang utama buat gua. Tanpa digaji, gua akan sangat bersedia untuk jadi brand ambassador-nya pemerintah dalam iklan layanan wajib belajar. Baru kerasa gua makna kenapa orang-orang tua mati-matian ngelakuin apa aja biar bias anaknya terus bersekolah. Tsunami di Aceh, gempa bumi di Jepang, gunung meletus di Krakatao, semuanya nggak akan menyurutkan semangat gua untuk terus menuntut ilmu. Bencana alam sebesar itu semua gua lalui. Kecuali, hujan gerimis pagi-pagi di Bekasi. Biar bisa, ketemuan terus, dengan dia yang terkasih…

Seiring waktu berlalu, kepandaian gua yang tiada tara, berhasil membawa gua lulus dalam Ujian Akhir Nasional. Sampai disitu, mulailah kita masuk ke dalam sesi yang paling banyak menguras air mata. Gua harus packing, bahasa Indonesianya berkemas (sama sekali ga bermaksud meragukan pengetahuan vocab para pembaca), melanjutkan pendidikan, ke tempat yang amat jauh. Kota seribu band, Lampung. Nggak akan ada lagi adegan ngasih bekel isi roti di tangga cinta. Ataupun makan soto berdua di kantin, terus rebutan siapa yang mau bayarin. Padahal tau apa engaak itu uang cukup buat balik nanti naik angkot. Penuh kebohongan, dan tipu muslihat. Tapi disitulah seninya, dari situ kita dapat ambil pelajaran, bahwa manusia akan melakukan apa saja, mencoba untuk tampil sempurna, didepan orang tercinta. Selain itu juga, banyak hal yang harus gua tinggalkan : celana baggy abu-abu ekstra ketat, SMA 4, kelas ipa 2, tiga babi bodoh yang dikutuk sama Pak Rudy, dan lagi-lagi dia yang terkasih…

Gua udah bilang sama dia, kalau gua kesana itu buat seriusan belajar. Bukan wisata kuliner. Gua juga bilang, nggak akan ikut-kutan buat band dengan genre dan ketukan norak ala The Potters. Tapi bukannya diem, dia malah makin jerit. Karena ngak taunya, selain gua mau ninggalin dia, gua juga nggak sengaja udah ngatain band idolanya. Bujuk rayu ala playbol-plabyoy telenovela Italia juga udah gua hadirkan. Tapi tetep aja, nggak mempan.

Sampai akhirnya, gua nyadar juga kalau gua ini adalah seorang laki-laki. Dan dalam diri seorang laki-laki, terdapat satu bakat alam yang tersusun dari kebohongan-kebohongan, dan mereke menyebutnya ‘kegombalan’. Sejurus kemudian, gua gombalkan dia dengan seksama, dengan bilang “Aku nanti pulang, sebulan sekali…” JEBRET…!!! Tepat ditengah sasaran. Akhirnya dia merelakan gua, dengan penuh ketidakikhlasan.

Perlahan tapi pasti, melajulah bus yang gua tumpangi. Menepi, menghindar dari pulau Jawa yang makin lama makin sesak untuk ditinggali. Hingga ketika gua sampai di atas kapal, di atas selat sunda. Di sana gua pandangi bintang-gemintang yang tersusun rapi dalam konstelasinya. Bak ditulis dengan amat teliti, dalam buku jaring-jaringnya Pak Piping, oleh mahasiswa FISIP Unila. Dalam gugusannya ada takdir gua, takdir dia, serta takdir kita berdua…

***

Singkat cerita, gua gagal jaga komitmen itu. Bulan pertama emang gua pulang, tapi itu juga karena lebaran. Sisanya nihil. Janji ‘aku pulang sebulan sekali’ gua emang cuma sebatas janji. Euoforia sebagai mahasiswa baru, dan keasyikan adaptasi sama lingkungan yang juga baru, buat gua jadi jarang sempet bales sms-smsnya. Baru nyadar kalau gua masih punya pacar, kalau dia udah nelpon nanyain kok smsnya nggak dibales-bales. Belum lagi rutinitas perkuliahan, yang buat gua mau nggak mau harus fokus sama tugas-tugas gua. Sehingga kewajiban gua untuk selalu keep contact sama dia jadi terbengkalai. Lama-lama, yang ada hanya perasaan ngerasa bersalah terus. Gua kasihan sama dia, punya pacar kok tapi kaya nggak punya. Seharusnya cewek remaja seumuran dia itu lagi asik-asiknya nikmatin masa-masa SMA. Bukanya terjebak dalam ikatan yang nggak jelas, yang buat dia jadi nangis terus. Semua perasaan itu terakumulasikan dalam satu pernyataan : kita berdua, udah nggak bisa sama-sama.

Buat dia yang terkasih, mungkin suatu saat nanti malam cerah, coba nanti kamu lihat bintang-gemintang yang tersusun rapi dalam konstelasinya. Disana kamu bisa lihat, ada takdir aku, ada takdir kamu,dan ada takdir kita berdua…

Sayuri

Ia tersungut tak acuh, dengan gesture wajah yang amat terlatih. Terlihat seperti tidak pernah perduli dengan lingkungannya, misterius, penuh rahasia. Pesonanya membuat gua terlena dalam sensasi cinta perdana. Matanya tajam, pandangannya seram. Komposisi aneh yang entah mengapa membuat gua terkagum-kagum. Belakangan baru gua ketahui nama anak ini : Sayuri

Itulah kesan pertama gua ketemua sama dia. Dulu waktu masih kecil, waktu masih SD. Inget banget gua, kelas 6 semester dua. Dia datang dengan predikat anak baru. Langsung jadi bahan pergunjingan dan topik terhangat dalam dunia infotainment anak SD yang sok-sokan udah gede.

SMP kita dipertemukan lagi, tepatnya di SMP 1. Keliatan dari wajahnya, ini anak pinter juga (‘juga’ disini jelas mengacu pada, ehm…). Disinilah, akar-akar kekaguman itu meranggas menjadi sebuah tumbuhan yang bernama cinta pertama. Tapi sayang, cinta itu nggak terkatakan. Tiga tahun, sampai kita berdua lulus SMP.

SMA kita misah. Dia sekolah di Jakarta, sedangkan gua masih setia menimba ilmu di kota pertiwi, Bekasi. Dan masa-masa itulah gua berusaha ketemu lagi sama dia. Saat gua udah nyiapin diri, janji berani nyatain semua ini. Sayangnya, cupidinho (dewa cinta asal Brazil) tendangannya belum ada yang pas sehingga kita ga pernah bisa ketemu lagi. Aslinya rumah kita berdua itu deket, tiap gua mau jogging selalu lewat. Kadang kalau lagi beruntung, gua akan mendengar beberapa nada dentingan piano klasik, yang cuma dari suaranya aja gua akan tahu kalau ini simfoni yang dimainkan dari jari-jari indah seorang wanita, jari-jarinya. Tapi gua mau coba ngetes keabsahan pepatah ‘kalau jodoh pasti ketemu’. Jadi gua nggak pernah sengaja untuk main kerumahnya. Lagian juga belum berani. Pengennya gua ketemu sama dia lagi, di suatu suasana yang nggak disengaja.

Tiga tahun, ‘suasana yang nggak disengaja’ itu nggak kunjung tiba. Gua pasrah, mungkin emang kita berdua bener nggak jodoh. Masih tetep keep contact-an sih, dan merhatiin dia lewat kecanggihan media komunikasi yang bernama facebook. Tapi tetep aja satu ruang di batin ini masih menyatakan ketidakpuasaan, kepenasaranan, dan keingintahuan seperti apakah dia sekarang. Dan disaat kepasrahan itu sudah menumpuk, teronggok seperti barang rongsok di TPA Bantar Gerbang, cupidinho hadir dalam baluatan seorang tukang fotokopi. Here they are, the most romantic story that I ever felt.

***

4 Maret 2008
Waktu itu gua habis mandi. Mau siap-siap ke gramedia. Setelah ngaca setengah jam, sekedar memastikan tampang gua masih kaya Jhony Depp apa nggak, gua berangkat. Pas lagi make sepatu, nggak tau kenapa gua keingetan titipan temen-temen gua yang mau motokopi rangkuman rumus-rumus. Gua bawa, dengan niat mau dititipin dulu di tempat fotokopian langganan. Pulang dari sana, baru gua ambil lagi.

Selesai dari gramed, kira-kira pukul 19.00 WIBRG (Waktu Indonesia Bagian Rumah Gua). Turun dari angkot, gua langsung lari ke tempat fotokopi yang kebetulan letaknya pas di pinggir jalan besar. Hujan gede, bikin gua punya pikiran neduh sebentar. Saat neduh itulah, keajaiban yang gua tunggu-tunggu datang secara anggun melalui tangan-tangan cakap nan brilian mas-mas tukang fotokopi.

“Dari mana Mas, rapih amat! Ini fotokopiannya, semuanya 13 poundsterling…”
“Haha, Mas bisa aja. Ini habis nyari buku. Semuanya udah lengkap kan ya?”
“Udah dong. Coba aja dicek dulu! Oh iya, Mas sekolahnya di mana kalau boleh tau?”
“Oh iya udah. Udah Mas udah lengkap. Maaf kenapa mas?”
”Mas ini sekolahnya dimana?”
“Ooh, saya di SMA 4 Mas. Kenapa emang?”
“Kenal sama ini nggak?”

Dia mengeluarkan berkas-berkas kertas fotokopian yang masih di plastikin. Tulisannya belum bisa jelas gua baca. Tapi nggak tau kenapa suasana jadi menegang. Ingat, suasana yang tegang, bukan yang lain. Aura mistis yang kuat keluar secara berangsur-angsur, seolah gua dipersilahkan oleh malaikat membaca langsung kitab masa depan. Kertas itu dikeluarkan dari plastik, oleh dewa cinta yang terbalut chasing mas-mas fotokopian. Tuhan tau tapi menunggu. Fotokopian itu berisikan rapot yang diatasnya ada nama : Sayuri Dianita.

“Kenal Mas. Saya kenal sama orang yang punya ini. Mas titipin aja ke saya, nanti biar saya yang anterin ke dia.” Gua speechless. Ternyata segala sesuatu yang akan terjadi di dunia ini udah diatur dengan begitu rapih melalui kuasa-Nya. Mati-matian gua usaha untuk coba ketemu dia, sampai pada titik dimana gua mencoba untuk nyerah dan langsung mikir ‘yaudahlah’, ternyata sesimple ini Dia Yang Maha Esa coba untuk kembali mempertemukan kita berdua, dalam suasana yang bener-bener nggak disengaja.

Langsung nggak pake berenang atau main tennis dulu, gua cepet-cepet sms dia.

Yuri, ftokopian rpot lo yg ad legalisirnya ktinggalan di tmpat fotokopi.
Td masnya nitipin, jd skarang ad di gw.
Trus gmn??


Hape gua langsung bunyi, dia nelpon.
“Indra, fotokopian gua yang mana?” Suaranya terburu-buru.
“Fotokopi rapot, yang udah dilegalisir.” Gua mencoba untuk sok kalem, padahal mah sambil nelpon itu gua loncat-loncat bak balerina yang sedang main karet.
“Oh iyaa! Aduh Indra sekarang lo dimana? Gua ambil ya?” Pertanyaan dia itu, keliatan biasa aja. Tapi buat gua itu berharga banget. Sekarang gua bertranformasi dari seorang balerina menjadi atlet senam lantai. Jadi saking girangnya, sambil nelpon gua sikap lilin.
“Nggak usah. Gimana gua aja yang nganterin kerumah lo?
“Nggak apa-apa? Mana hujan gini lagii…”
“Nggak apa-apa kok. Yaudah gua antar kesana ya!” Hujan masih turun dengan angkuh. Tapi kekuatan cinta yang tiada tara buat gua berubah menjadi bentuk paling sempurna. Dari atlet senam lantai, menjadi seorang Pasha Ungu dalam video klip demi waktu. Berjalanlah kerumahnya, diiringi hujan-hujan cinta disekeliling gua.

Dia duduk di teras. Manis bukan buatan. Senyumannya menunggu gua (mmh, mungkin lebih tepatnya menunggu fotokopian rapotnya) membawakan kehangatan yang tiada tara. Sehangat matahari kala bersinar pertama kali di musim semi. Nggak banyak berubah, dia masih memiliki wajah seteduh dulu. Wajah yang kalo melihatya membuat gua merasa seperti habis terkena air wudhu. Auranya sukses membuat hujan jadi terasa salju. Lembut dan penuh dengan kemegahan. Kita bagai sepasang muda-mudi dalam film-film romantis Perancis, yang bertemu dalam suasana syahdu dengan alunan musik waltz di suatu hari di bulan Desember. Tiga tahun menunggu, dan sekarang orang yang ingin gua temui itu berdiri hanya dalam jarak hitungan centimeter.

“Ini, rapotnya…”
“Oh iya makasih.”
“Hehe, akhirnya ketemu juga. Nggak nyangka ya, ketemunya dengan cara begini”
“Hehe, iya nggak nyangka ya”
“Yaudah. Gua pulang dulu. Keujanan, mau buru-buru ganti baju. Takut masuk angin.”
“Iya maaf ya Indra. Tapi sebelumnya, makasih banyak…”
“Iya, sama-sama.”

Tiga tahun nggak ketemu cuma kata-kata itu yang bisa keluar dari bibir ini. Gua merasa malam itu terlalu agung untuk dinodai oleh ucapan-ucapan yang nggak berguna kalo gua kebanyakan bicara. Emang secara lisan kita ngobrol sedikit. Tapi jika ahli komunikasi melihat ini dari prespektif komunikasi verbal, mereka akan menemukan kita bicara dengan bahasa cinta. Bahasa yang cuma bisa dimengerti gua dan dia. Lalu gua pulang, sambil joget-joget bak aktor India yang baru diterima cintanya. Hujan jadi bener-bener nggak terasa, karena tetes demi tetesnya, seolah turun dari langit untuk ikut merayakan kebahagiaan hati ini. Mulai saat itu gua percaya, jika lo mencari cinta sejati yang nggak ketemu-ketemu, kunjungilah tempat fotokopian terdekat. Haha…

***

Pertemuan malam itu bukanlah akhir, melainkan awal dari segalanya. Dari situ gua jadi berani untuk main kerumahnya dia lagi. Pertama-tama sih masih menggunakan trik manipulasi. Sok-sokan ngasih undangan reunian SMP lah. Tapi kesininya gua udah berani. Dia sekarang kuliah di ITS Surabaya, sedang gua di Unila. Jadi nggak ada waktu yang tepat buat ngobrol-ngobrol lagi, selain liburan. Makannya kalo balik ke Bekasi, sebisa mungkin gua coba sempetin mampir kerumahnya. Terakhir ketemu, dia masih aja sama. Pancaran matanya masih serius, masih diisi dengan rahasia-rahasia misterius.

Jadi inget pesen Faolima : “Ndra, perjuangin dapetin Yuri ya! Gua dukung lo abis-abisan!”