Tuesday, January 5, 2010

Pendidikan : Harga Mati Sebuah Harga Diri

Dari dulu gua udah percaya, bahwa untuk merubah nasib seorang manusia, yang dibutuhkan hanyalah ilmu yang banyak. Dan untuk meraihnya, cuma dengan melalui jalur yang bernama pendidikanlah itu semua bisa tercapai. Kepercayaan itu kini berubaha menjadi sebuah keyakinan, bahwa sekolah setinggi-tingginya akan buat lo bahagia. Dunia akhirat…

***

Flash back sebentar, dulu ke masa dimana gua masih mengenyam bangku Sekolah Dasar. Di SD Negeri Margahayu 23, kalian semua akan menemukan seorang anak, dengan nama Indra Julianta, sedang berdebat hebat dengan sang guru mengenai penggolongan spesies hewan unik yang bernama platypus.

“Ibu guru, mamalia itu nggak ada yang bertelur. Lagian platypus itu juga nggak punya kuping. Kata ibu saya, hewan yang nggak punya kuping itu bukan mamalia…”
“Tapi Indra, di buku ini tulisannya begitu. Platypus tergolong hewan mamalia!”
“Kok bisa, emang kenapa?”
“Di buku ada! Udah ngak usah banyak nanya! Kita lanjutkan membahas reptile, ada yang tau anak-anak apa itu reptiil ?”
“Ibu guru tadi saya nanya belum dijawab ??”
“Iya benar ! Reptil adalah hewan melata… !”

Itulah gua dulu. Selalu paling cerewet, dan sok-sokan keritis. Perihal kecil, selalu ditanya sampai serinci-rincinya. Dari SD aja gua udah pandai menilai, mana guru yang kompeten, mana yang nggak. Mana guru yang emang niat ngajar, dan mana guru yang ngajar cuma karena nggak ada kerjaan lain yang bisa dikerjakan. Selain itu gua selalu menjadi orang paling semangat di kelas. Hasilnya dari kelas 1 sampai dengan kelas 6, gua selalu duduk di peringkat kedua. Iya cuma kedua. Karena sang peringkat pertama, adalah orang yang tak tergantikan. Selain rajin, ia juga cerdas. dan yang paling utama, dia anak cewek. Ibu gua sering bilang, anak cewek itu pasti lebih teliti kalau ngerjain apa-apa ketimbang anak cowok.

Mmh Ibu gua, selalu memberikan pengetehuan yang sifatnya general. Seperti perihal mamalia tadi, kalau nggak nyari tau sendiri, sampai sekarang mungkin gua akan terperangkap dalam ilmu kesesatan karena menganggap hewan yang nggak punya kuping itu bukan mamalia. Kasihan paus dan lumba-lumba, susah-susah nete’in anak-anaknya, nggak juga bikin mereka dianugerahi gelar sebagai hewan mamalia.

Beralih ke SMP, gua masuk SMP 1 Bekasi. SMP paling nomor satu di Kota Bekasi. Walaupun jauh dari rumah, tapi disini gua masih tetep semangat sekolah, masih keritis, tapi udah lemah untuk bersaing. Dikumpulin sama anak-anak yang dulu SD nya juara lomba seapa aja, bikin gua jadi ngerasa percuma lah belajar serius-serius, toh nggak akan ranking satu juga. Mentalitas seperti inilah, yang menjadi cikal bakal kemalasan-kemalasan itu. Belajar kalau ulangan doang, PR nyontek, tugas ngumpulin kalau udah deadline. Sekolah cuma mau nilai amannya aja, yang penting naik dan nggak jelek-jelek amat. Selalu nyari yang tengah-tengah, seperti sifat bangsa ini.

SMA, gua berhasil menjaga track record mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Gua masuk di SMA 4 Bekasi. SMA paling nomor empat sekota Bekasi. Buat perbandingan, jarak SMP 1 kerumah gua itu jauh. Maka kalau jarak SMA 4 kerumah gua itu adalah, jauh banget. Iya jauh banget, karena Harapan Jaya-Bulak Kapal adalah rute yang paling cepet setengah jam untuk bisa lo melaluinya. Tapi walau jarak memisahkan ‘aku dan SMA 4-ku’, semangat untuk sekolah masih meletup-letup kencang. Nilai gua lumayan, masuk IPA, dan lulus SNMPTN.

Kuliah, gua berhasil mengukuhkan hegemoni riwayat pendidikan ini dijalur yang semuanya adalah negeri. Gua diterima di Unila, Universitas yang terletak di kota Bandar Lampung. Melalui SNMPTN, ujian saringan masuk yang bikin lo ngerasa makan pun tak enak, tidur pun tiada nyenyak. Karena lo harus belajar ekstra gila-gilaan buat lulusnya. Diterima disini, itu berarti mengharuskan gua juga menerima semua tantangan yang berlaku. Pada titik inilah sebuah perjuangan menempuh pendidikan benar-benar gua rasa.

***

Gua tinggal di dirumah tante gua, di Metro. Sedangkan Unila terletak di Bandar Lampung, dan teman-temanku para pembaca yang budiman, tahukah kalian berapa jarak yang terbentang antara dua kota ini? Very good answer, jaraknya adalah 50 km. (Jarak ini diukur, berdasarkan speedometer motor Yamaha Vega R gua). Lebih banyak 10 Km dari Lintang sang Bocah Petualang. Dan itu harus gua tempuh selama satu jam lamanya, kalau pantat bisa ngomong, mungkin dia tak akan bohong. Memang gua nggak melewati itu yang namanya buaya berbadan sebesar pohon sagu, tapi rintangan gua lebih dari sekedar itu.

Lo pada pernah denger ga sob ? Tentang salah satu profesi yang bernama begal? Itu lho orang yang gemar membegal ? Yang mengincar para pengendara motor yang belaga bak jagoan karena naik motor malam-malam sendirian? Udah tau kan… Nah jarak yang gua laluinya tiap hari ini, adalah lahan basah bagi mereka untuk mencari sesuap nasi. Sori, maksud gua seunit motor. Dan mereka nggak akan pernah merasa berdosa kalau-kalau setelah ngambil motornya, orangnya diabisin juga. Bisa dibilang mati iseng. Jadi lo mati, terus pas begalnya diinterogasi dia cuma bilang, “Nggak kok cuma iseng…”

Belum lagi jalur lintas Sumatera yang banyak bolong-bolongnya, bikin gua tiap hari ngelihat kecelakaan super dahsyat yang kalo lo abis liat, mungkin akan mikir-mikir lagi bawa motor dengan gaya belagak sok Pedrossa. Can you believe it, gimana mobil avanza nyusruk rumah warga, dibelakangnya nyusruk juga truk besar bermuatan gula, dimana avanza itu yang tadinya mulus sekarang dalam keadaan penyok kaya kaleng sarden, dan disela-sela pintunya ada kaki manusia nyempil dengan hiasan darah segar. Itulah bahaya yang mengintai gua di perjalanan pulang-pergi ngampus. Tapi itu biasa. Ada hal yang lebih menakutkan lagi, yakni terancamnya asset gua yang paling berharga, muka gua. Iya, kalau begini caranya, wajah maha tampan indo blesteran Sweden-Wonogiri gua bisa rusak karena setiap hari kena debu dan kotoran yang tidak bertanggung jawab. Melajulah Brad Pitt sendirian dalam kontes cowok ter-oke sedunia, karena saingan terberatnya, gua maksudnya, udah nggak ganteng lagi.

***

Dulu gua pernah janji, sama Alm. Ibu. “Aku nanti harus jadi sarjana, gimanapun caranya.” Ibu cuma ketawa, seraya mengucap, “Iya, buktiin ke Ibu kalau kamu bisa.” Sayang, beliau cuma bisa ngeliat gua dengan gantengnya pakai baju SMA. Cuma sampai sana dia mendampingi gua. Setiap ingat akan janji itu, semangat akan kembali berlipat-lipat. Jalanan yang jauhnya berhektar-hektar jadi nggak berasa apa-apa. Sungai-sungai besar di sepanjang daerah Sukadana, yang mengandung hawa mistis tempat jin buang anak, terasa seperti perairan di Venice dengan gondola-gondolanya yang membuat hati tak sabar untuk menaiki. Dari helm gua yang warna pink ini, terlihat sebuah pemandangan indah. Terbentang luas rumput hijau dengan biri-biri lucu berkejar-kejaran, tenang dan menyegarkan hati, bak dataran rendah di kaki Pegunungan Alpen. Jembatan angker Tegineneng, tidaklah menakutkan lagi. Ia kini adalah Brooklyn Bridge, jembatan termahsyur se-Amerika. Semuanya menakjubkan, sungguh-sungguh menakjubkan.

Bagi seorang laki-laki, sebuah janji bukanlah perkara main-main. Harus ditepati, jika tidak ingin terkena bala burit sepuluh bulan. Oleh karena janji itulah, gua bertekad untuk sekolah setinggi-tingginya. Target setelah ini : S2 dengan beasiswa ke Eropa.

No comments:

Post a Comment