Tuesday, January 5, 2010

Ciuman Terakhir

“Ia tak pernah sekalipun menyerah. Ibuku adalah pahlawanku…” (Kimberly A.B)

26 Desember 2006

Gua akan selalu inget banget dengan tanggal itu. Itulah tanggal dimana untuk terakhir kalinya, gua melihat secara langsung, wajah wanita yang melahirkan gua. Wanita terhebat yang keberadaannya nggak akan tergantikan. Wanita yang untuknyalah gua rela melakukan apa aja, wanita yang kerap gua panggil, ibu…

Kini ia terbujur kaku. Lemas tak sehebat dulu. Kain serba putih itu membalut seluruh jasadnya, keadaan hening dengan isakan dan teriakan orang-orang yang ditahahan sekuat tenaga. Seorang pria setengah baya mempersilahkan gua untuk melihat lebih mendekat, dan samar-samar gua dengar “Silahkan Mas, lihat wajah Alm. Ibu untuk terakakhir kalinya.”

Gua merapat, kini jelas terlihat wajah yang selalu tersenyum setiap gua berhasil membanggakan hatinya itu. Gua tatap dalam-dalam, nampak kelelahan dalam cekung bola matanya. Rasa bersalah telah menyia-nyiakan kebersamannya yang singkat berkelebat hebat. Hati ini wanita ini, terlalu sering gua sakiti. Belum sempat ia melihat gua berdiri dalam gelimang kesuksesan, berkata kepada orang-orang bahwa berkat jasa ia lah gua bisa mencapai semua itu. Izrail hadir terlalu cepat menunaikan tugas. Jantung itu, perlahan mengerogotinya, pelan-pelan dari dalam. Penyesalan mengganda, karena gua nggak ada disamping dia. Saat syahadat berusaha ia ucapkan dalam tarikan napas-napas terakhirnya. Tapi gua ingat, ada satu hal yang buat gua jadi tersenyum sendiri. Setidaknya sebelum kepergiannya, gua tinggalkan satu ciuman di keningnya. Ciuman pertama dan terakhir.

***

Ibu adalah segala-galanya. Harta karun yang paling tersayang, bulan purnama dalam hidup gua. Memisahkan kita berdua adalah sia-sia, seperti Pharaoh yang hendak ikut-ikutan Nabi Musa, berusaha membelah laut merah jadi dua. Jika ditinggal sebentar gua akan panic at the disco. Bahkan saking parahnya, sampai kelas satu SMA gua sarapan masih sambil disuapin. Biar cepet, sekalian gua make sepatu. Disaat suapan terakhirnya gua selalu ingat, dia akan bilang “Belajar kamu yang bener !” Mmh, jika ingat masa-masa itu, sebesar apapun gua nanti, nggak perduli walau udah punya anak istri, jika Ibu masih ada, nggak akan pernah ragu gua untuk minta disuapin setiap hari. Iya, setiap hari.

Seerat itulah memang kita berdua. Membuatnya bangga adalah hal-hal yang paling gua suka. Prestasi akademik adalah sedikit contohnya. Banyak tetangga sering nanya, gimana ngedidik anak biar bisa pinter kaya, ehm… (kerendahan hati buat gua enggan meneruskan kalimat ini). “Ya biasa aja kok Bu. Yang penting anak dibebasin aja, liatin maunya apa. Saya nggak pernah nyuruh-nyuruh mereka belajar kok.” Kalimat terakhirnya diberangi dengan tatapan wajah kea rah gua. Tersenyum, dia kembali tersenyum. Ibu, tahukah senyum apa yang paling dahsyat dari senyum Monalisa? Iya benar, itu senyummu. Jika Da Vinci tahu senyummu itu, dia pasti lebih memilih untuk melukismu, menjadikannya sebagai master piece, kemudian dibingkai dalam dinding agung Louvre. Setelah selesai ia tersenyum, ia akan menghampiri gua. Berusaha mencium anak yang sudah membesarkan hatinya, di depan orang banyak. Tapi gua nggak mau, selalu nggak mau.

Pernah juga dia coba mengomentari salah satu hobi gua. “Kalau main bola kamu nggak usah ikut lari-larian kenapa? Jadi apa itu namanya? Oh iya, jadi kipper aja. Diem duduk di gawang, enak…!” Haha, begitu polos wanita ini bicara.
“Bu, aku nggak mau jadi kipper. Nggak bisa nyetak gol banyak.” Gua jawab dengan jawaban yang sederhana. Jika habis bertanding di lapangan depan ruamh tiap sore di akhir pekan, Ibu diam-diam melihat. Kadang kalau gua kalah dalam sebuah pertandingan yang penting, gua nangis. Tidak banyak yang dia perbuat, hannya mengeluarkan kata-kata sakti mandragunanya. “Kalau nggak sakit, anak cowok nggak boleh nangis.” Kakak dan adik-adik gua, gua yakin mereka hapal sekali dengan petuah bijak Ibu yang satu itu. Iya, Ibu selalu bilang itu. Jika kami, keempat pejantannya mengeluarkan air mata. Namun lain halnya jika gua menang. Dielu-elukan warga sekitar karena berandil besar dalamnya. Pulang kerumah, ibu dengan biasa berusaha mencium gua. Tapi gua nggak mau, tetep nggak mau.

Akhir-akhir itu kesehatan Ibu menurun drastis. Yang gua sesalkan, ia nggak pernah mau bilang, perihal kesakitan yang dideritnnya. Badannya perlahan-lahan mengurus, dan masa-masa pubertas yang menghampiri gua, buat gua jadi ga menyadarinya. Tau-tau waktu diantar kakak gua ke periksa ke dokter, Ibu divonis mengalami penipisan katup jantung. Gua cuma bisa tersentak, khawatir kalau-kalau ini adalah penyakit yang bahaya. Tapi seperti biasa, ia tidak mau membuat gelisah anak-anaknya. Ia selalu berkata nggak apa-apa. Padahal dalam tidurnya jelas sekali gua lihat napasnya tesengal-sengal. Melihat dia seperti itu, gua nggak tega. Perih…

Ibu memutuskan berobat jalan. Tapi penyakitnya tak juga kunjung membaik. Sampai pada akhirnya ia memtuskan untuk dibawa ke Jawa, ke rumah Mbah Putri. Ia bilang ingin mencoba pengobatan alteratif disana, lagipula udaranya juga masih bersih. Mungkin akan mempercepat proses penyembuhannya. Berat bagi gua untuk berpisah darinya, berat sekali. Tapi gua harus berkorban, untuk kesembuhannya.

Sebelum dia pergi, entah ada perasaan apa yang menggelayut dalam pikiran gua. Perasaan ini lebih dari sekedar perasaan ditinggalkan. Ini adalah perasaan merasa akan kehilangan. Tapi nggak, gua tepis jauh-jauh prasangaka nggak bener itu. Ibu akan sembuh disana, akan berkumpul bersama gua lagi, menyaksikan gua tumbuh dewasa, membuatnya ia bangga sampai mau meledak dadanya. Tapi nggak tau kenapa, lagi-lagi perasaan itu muncul lagi. Tanpa diperintah oleh siapa-siapa gua peluk dia erat-erat. Kali ini dia nggak coba untuk mencium gua, karena mungkin tau gua nggak akan mau. Tapi sisa-sisa sinar matanya, buat gua mencium kedua pipinya, mengecup kening yang sudah nampak menuanya, tes-tes… Air matanya, bercampur dengan air mata gua.

***

Kini gua berdiri dalam peristirahatan terakhirnya. Gua dapet telfon dari tante gua, sambil nangis-nangis dia bilang Ibu udah nggak ada. Well, gua terima. Semua manusia akan meninggal, semuanya termasuk manusia selembut Ibu. Dari Jakarta kita semua sekeluarga romobongan pulang ke Jawa. Untuk sekedar, mengantarkaknnya dalam istirahat kekal. Bunga-bunga itu gua taburkan di gundukan tanah yang di nisannya ada tulisan nama dia. Di atas pusaranya gua memekikan satu janji, gua akan sekolah setinggi-tingginya, menjadi orang yang berpenagaruh untuk kemaslahatan umat banyak. Nanti akan gua katakan ke semua orang di seluruh dunia, bahwa dibalik ini semua, ada wanita luar biasa yang membuat gua jadi merasa menjadi anak paling beruntung di seluruh dunia, karena memliki Ibu, sehebat dia.

***

Tulisan ini, gua dedikasikan untuk kalian anak-anak yang merasa memeliki Ibu sehebat Ibu gua. Ciumlah Ibu-ibu yang kalian anggap hebat itu, ciumlah mereka sekarang juga! Bukan menakut-nakuti, tapi bisa saja itu adalah ciuman terakhir kalian semua padanya.

No comments:

Post a Comment