Friday, August 10, 2018

The Good Life

Kamis, 9 Agustus 2018

The good life. Aku cenderung ingin memulainya dengan pilihan kalimat ini saja lah. Aku yakin pasti banyak yang mendadak alergi, jika kemudian kugunakan padanan istilah lain untuk hal yang ingin sekali kuceritakan kepada kalian lewat tulisan pendek ini: politik.

Mendadak tensi naik, kolesterol ngambek, dan ginjal minta cuti.

***

Kupinjam istilah Plato juga Aristoteles dalam budaya Yunani kuno yang menamakan politik sebagai en dam onia atau the good life. Istilah yang bersahaja. Jamak kita temui dalam janji-janji indah pria-pria cap buaya muara Sumatra. Lalu dimana buruknya berbicara tentang kehidupan yang baik? Bukankah menyenangkan berdiskusi tentang dunia yang seharusnya menjadi tempat nan asyik? Inilah sebab kesusahan sulit diberantas, karena pelakunya ternyata fine-fine saja menjadi susah.

Politik sudah mendapatkan reputasi yang kelewat ngeri. Itu bisa saja kumaklumi. Dari sejarahnya, ada banyak korban, jutaan cerita tak enak. Tapi bukankah track record cinta jauh lebih horor. Namun nyatanya Cinta tetap eksis, dan Rangga tetap menulis puisi di kedai kopi. Kadang keadilan mudah dibicarakan tapi sulit menjadi kenyataan. Politik di-bully terlalu sadis.

Aku ingin membicarakan politik dalam makna yang paling sederhana. Ku kutip dari buku Dasar-dasar Ilmu Politik-nya Prof. Miriam Budiarjo, "Politik dalam arti ini begitu penting. Karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik".

Bayangkan mulianya politik bagi manusia ditinjau menurut definisi awal ia diciptakan. Mengapa lantas ia menjadi sesuatu yang menganggu, mari sini kuberitahu.

***

Begini simulasinya. Kuambil contoh dari orang-orang sekitar saja, alkisah hidup anak muda bernama Indra Julianta, kaya raya, ayahnya pejabat yang sebelumnya juga lahir dari garis keturunan yang sama, begitu terus-menerus sampai Nabi Adam. Indra Julianta adalah anak yang gemar bersenang-senang dengan uang, saat kuliah menolak untuk ikut organisasi, tidak mau ambil pusing dengan urusan orang banyak. Menjadi cowok cuek. Sampai kuliahnya tidak pernah benar-benar selesai, karena judi dan narkoba. Sesekali karena perempuan. Perempuan prostitusi online.

Namanya tidak pernah lagi terdengar. Hingga masa-masa pilkada, baliho dimana-mana. Wajahnya yang instagramable terpampang lucu menghalangi pemandangan indah kota. Lengkap dengan gelar sarjana juga masternya yang ia dapat dari sang ayah sebagai hadiah kado ulang tahun. Ditambah bonus janji suci sehidup-semati untuk membuat rakyat happy. Sesuatu yang ironisnya tidak pernah diperdulikannya dari dulu: kepentingan publik.

Semua sudah difasilitasi. Modal politik dikumpulkan. Materi orasi disiapkan. Branding kampanye menyentuh lapisan masyarakat terluar, Indra Julianta pun menang. Menjadi pejabat yang bertanggungjawab mendistribusikan sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas.

Kebetulan Indra Julianta adalah seorang Cancer yang tidak menyukai zodiak Scorpio, warna merah, dan kata-kata latah manja "Eh ayam-ayam". Karena posisinya kini pejabat, pembuat keputusan, hal-hal yang tidak disukainya dimasukan menjadi agenda kebijakan, dipolitisasi. Bahayanya politik di tangan yang salah. Bahkan zodiak, warna, dan "Eh ayam-ayam", bisa dihilangkan maknanya, diganti makna baru, sesuai mood-nya hari itu.

***

Di mana kita saat Indra Julianta menggunakan sumber daya untuk kepentingan diri dan urusan-urusan pribadinya? Saat ia melarang warna merah, memboikot orang-orang berzodiak Scorpio, melarang pemakaian kalimat "Eh ayam-ayam"?

Kita ada di kasur hangat, memegang handphone, mengutuki nasib negeri, memilih alergi politik, membiarkan orang-orang seperti Indra Julianta dan keturunannya berkembangbiak, membelah diri. Kita tidak pernah mencoba masuk dan merusak lingkaran kartel-kartel mafia kehidupan. Kita tidak melakukan apa-apa. Kita diam saja.


No comments:

Post a Comment