Tuesday, November 10, 2015

Krisis Seperempat Abad

Gua benci matematika. Gua menganggap lebih dari separuh masalah di dunia ini muncul karena perhitungan-perhitungan yang nggak pernah punya batas. Kebencian itu dimulai dari sekolah tingkat menengah pertama. Karena bagi gua, sejak itu matematika kehilangan kesederhanaannya. Ia jadi punya banyak syarat, kelebihan aturan, anti kompromi dan terlalu senewen.

Jawabnya Ada di ujung Langit.

Apalagi ada sebuah standar purba orang tua di Indonesia, menganggap kecerdasan anak adalah kecerdasan aritmatika. Bodoh di matematika berarti bodoh semuanya, pukul rata.

Matematika adalah satu-satunya masalah di kehidupan akhil baligh gua.

***

Waktu berjalan, pasti dan perlahan. Muncul paradoks, sebuah karma semesta. Seperti kakak tingkat gua di kampus, Bongkeng namanya, selalu menyebut "Paling enak emang ngejilat ludah sendiri".

Sejenak diri ini rindu pada sebuah masa, dimana segala kepahitan dunia adalah bab trigonometri dalam hal yang paling gua benci, matematika. Rindu pada tiga sekawan bernama Sin Cos Tan yang pada saat itu posisinya lebih antagonis dari pacar yang mengajak break tapi ternyata melarikan diri bersama CPNS dengan iming-iming menikah di gedung pemda.

Ternyata matematika tidak ada apa-apanya.

Dibanding standar orang tua purba yang pada saat gua remaja menuhankan matematika, bergeser menjadi keimanan bahwa sukses adalah orang yang kaya. Belajarlah yang rajin, pandai matematika, kemudian engkau akan jadi orang. Yang tidak kaya ya tidak orang, begitu penjelasannya, barangkali. Tau ah gelap.

Lagi-lagi, manusia memberikan apresiasi manusia lain karna nominal, angka-angka, statistika. Matematika berevolusi menjadi spesies yang lebih rumit dalam bentuk berbeda. Hati ini patah jadi dua.

***

Dewasa ini gua dihantui sebuah ketakutan bernama kesuksesan. Semakin bertambah usia, orang-orang akan semakin nyinyir. Padahal bisa dibilang gua salah satu yang tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat asal-asalan orang banyak, mendekati sikap tidak perduli, anti persepsi sosial.

Apa sih arti sukses? Kalau gua jabarkan tentang sukses yang gua sepakati, yang gua pelajari dari Deepak Chopra dalam bukunya The Seven Spiritual Laws of Success, mengenai sukses adalah sebuah proses perpanjangan dari kebahagiaan dan kemampuan untuk memenuhi impian kita tanpa usaha, besar potensi mereka akan geleng-geleng dengan mulut penuh kalimat istighfar sambil berkata, "Orang itu tolol dulu baru tua. Bukan tua dulu baru tolol".

7 Hukum Sukses Spiritual

Gua bukan tidak ingin punya karir yang bagus, gadget terbaru, tabungan gemuk, liburan Maldives, wine testing di Ritz, "tersesat" di Ibiza, akal sehat anak muda mana yang akan menolak? Kalau gua ditanya semua pertanyaan itu pasti akan gua jawab mau banget dengan meminjam kecepatan ibu-ibu tukang rebut sate padang di kondangan.

Banyak, tidak bisa diasosiasikan dengan dengan keberhasilan hidup seseorang. Banyak, bisa jadi justru indikasi polusi karena kuantitas yang tidak terkontrol. Hidup tidak melulu tentang materi. Karena sukses itu sendiri adalah perjalanan, bukan tujuan. Materi adalah salah satu aspek yang membuat perjalanan jadi lebih menyenangkan. Ingat, salah satu. Karena akan ada aspek lainnya seperti kesehatan, hasrat hidup, relationship yang saling mengisi, kemerdekaan berpikir, stabilitas emosi dan psikologi, perilaku yang baik serta hati yang damai.

Sukses yang gua yakini harus berangkat dari kebahagiaan. Karena gua percaya kebahagiaan yang gua dapatkan akan membawa arahnya sendiri menuju sebuah tempat bernama kesuksesan. Tanpa terlihat nafsu dan bertendensi menjadi ambisius. Usaha edan-edanan bukan untuk menjadi sukses, tapi cukup menjadi manusia yang baik saja.

Baik untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, juga baik untuk alam semesta.

***

Meminjam alat ukur masyarakat umum tempat gua berada, predikat sukses seolah masih jauh untuk gua sandang. Ketika sukses menjadi sebuah "kejar setoran", idealisme yang gua jabarkan seperti tidak ada artinya. Mereka menganggap sukses dulu baru bahagia, padahal bahagialah saja karena itu adalah kesuksesan dalam bentuk yang lebih sederhana.

Mental punya fluktuasi. Dalam titik terendah, terkadang gua merenung memikirkan semuanya. Hati ini menjadi lupa akan bahagia. Gua akhirnya tidak sukses dalam definisi masyarakat, juga dalam definisi yang gua bangun sendiri: tidak kaya tidak bahagia.

Gua merasakan anomali. Entah ini hanya perasaan atau memang sebuah kepastian. Karena gua pernah membaca, manusia akan mengalami quarter life crisis. Sebuah gejala ketidakjelasan psikis tentang ketakutan akan masa depan dalam usia sekitar dua puluh lima. Begitu kurang lebih.

Jangankan bercita-cita menjadi astronot ke bulan, memilih tempat liburan untuk menghilangkan penat dari pekerjaan saja butuh banyak pertimbangan. Di dalam kepala serasa ada perang dunia kedua, semuanya berkecamuk. Lagi-lagi, angka menjadi masalah klasik gua. Kali ini dalam bentuk usia. Balasan gua kepada perempuan, yang selalu merasa dianiyaya oleh usia.

Saat ini gua iri pada comberan. Setidaknya, dia tau kemana alirannya akan menuju.

Nus, Aku Lupa Perahu Kertasnya. Nanti Aja Ya. Bbm Aja.