Saturday, June 20, 2015

Elegi Bulan Suci


Akhir-akhir ini gua menjadi begitu melankolis. Melihat segala sesuatunya dari tolak ukur paling nadir, sudut pandang orang-orang putus asa yang selama ini kerap keluar dari sinar mata mereka yang yang tidak pernah bersyukur atas hidup. Seperti semesta dan kejadiannya terbuat dari ketidaksengajaan. Tuhan tidak sedang bermain dadu, kata Einstein. Perasaan ini sama sekali nggak enak.

Gua belum menemukan sama sekali penjelasan ilmiah tentang semua kekalutan ini. Pendidikan serta guru-guru di sekolah mengajarkan untuk tidak gampang percaya dengan hal yang dimulai dengan kalimat “katanya”, cenderung tidak berdasar, hanya omong kosong. Apalagi gejala ini susah dimengerti, sebuah perasaan tentang matinya euforia, pada momen-momen krusial padahal orang lain justru sesak dipeluk kebahagiaan dimana-mana. Tahun baru, bulan suci, hari raya, atau cuti bersama semua sama saja. Tidak ada gagap gempita, bertendensi sebaliknya, biasa saja.

Sementara itu di 165 km barat laut Jakarta, sebuah kota dengan populasi sekitar 1,5 juta jiwa, Bandar Lampung, ada gua sendirian berusaha untuk jujur sama diri sendiri. Menulis ini semua dalam sebuah ketakuan akan menjadi "manusia yang tidak semestinya" bergerak menyeruak. Teralienasi atau terpredikatkan minoritas barangkali menjadi sebuah hal yang paling gua benci. Tapi bagaimana bisa gua menghindar, jika kenyataan orang di kota ini menyambut bulan suci dengan hati warna-warni, sedang gua terbaring dalam ekspresi paling gulana dari biasanya.

Dalam hati coba mengibur diri sendiri, "Hi dude, you don't supposed to be that sad, because urip iki sing penting pokoke joged.




***

Gua ingin bercerita tentang buka puasa pertama. Buka puasa pertama buat gua seperti sebuah momen dalam ending serial drama Korea, sedih. Desain buka puasa pertama selalu dirancang untuk keluarga, sedang gua nggak pernah menjadi bagian dari keluarga manapun. Ada banyak orang baik di luar sana yang selalu bersedia mengajak gua untuk berbuka puasa pertama bersama keluarganya, tapi gua selalu berusaha menolak dengan kalimat yang paling santun. Itu semua merupakan waktu sakral untuk keluarga, gua nggak mau merusaknya begitu aja.

Pekerjaan sebagai seorang penyiar radio adalah keberkahan. Semenjak siaran, gua jadi punya alasan untuk terlihat normal buka puasa pertama tanpa keluarga. Jika ada yang tanya, "Oh sorry gua siaran. Jadi buka puasa di studio. Terima kasih tawarannya, selamat buka puasa pertama."

Perasaan seperti ini terus-menerus membuat diri terlatih sendiri. Dulu waktu di bangku sekolah mungkin hati belum sekuat ini untuk mandiri. Semenjak Ibu selamanya pergi, karena sebuah alasan kita anak-anaknya dewasa di tempat terpisah. Sampai sekarang. Bertemu berkumpul berempat kembali antara gua, Mas Iyo, Ari dan Cahyo adalah hal yang cuma bisa dikabulkan dalam tiga permintaan dari jin lampu.

Melihat sebuah keluarga menikmati bulan puasa dengan makanan sederhana adalah kecemburuan. Itu semua lebih dari cukup. Sajian mahal paling enak tidak akan menggantikan bahagianya kakak-adik berebut gorengan sisa satu yang memang kerap kali merusak persaudaraan. Gua selalu curiga bahwa pembunuhan pertama di dunia antara dua putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil bukan lantaran berebut Iklima, melainkan rebutan gorengan yang tinggal satu.


***

Dahulu masalah barangkali ada di jarak yang menghasilkan banyak biaya. Saat ini ketika jarak dapat ditempuh, biaya sudah bukan hal yang penting lagi, waktu menjadi musuh baru. Kita semua sudah terkubur dalam kesibukan yang sulit untuk dicarikan peluang senggang, menjadi suatu akumulasi dalam sebuah cita-cita kecil bahwa secepatnya harus berkumpul dan duduk dalam satu meja makan yang sama.

Mungkin gua mengalami krisis berkumpul dengan keluarga yang membuat semua hari besar untuk dirayakan bersama-sama dengan sanak saudara menjadi hal yang tidak terlalu dalam maknanya. Ini bisa jadi alasan kongkrit mengapa semua euforia hilang lalu tak ada.

Gua putuskan kembali mendengarkan Like The Rolling Stone-nya Bob Dylan dengan penghayatan lirik yang khidmat.

How does it feel, how does it feel?
To have on your own, with no direction home
Like a complete unknown, like a rolling stone

Selamat menjalani ibadah di bulan suci, berkumpul bersama orang terkasih dan bergumul dengan spiritualitas tanpa batas.